Membuka...

Ranah Substansial Komisi XIII DPR-RI Atas Perumusan HAM Dalam Rancangan Hukum Acara Pidana


Suatu sore di hari ke-14 bulan Maret pada 2025, kami membahas hal-hal yang berkaitan dengan dunia hukum, terutama Advokat, rencana strategi, berusaha jangan sampai ada remah yang terlewat, disini, penulis makin meresapi bahwa Advokat tidak membicarakan hal remeh, parsial dan egois.

Ah, awal yang sombong, singkat saja ke waktu adzan Maghrib penanda waktu berbuka berkumandang, terdengar ke dalam ruang yang rapat, suara yang ditunggu sejak pagi, tidak bisa dipungkiri, untuk awam seperti penulis berpuasa lebih pada menahan lapar dan haus, takjil disediakan, kolak, gegorengan dan tentu saja air mineral.

Rupanya, tidak sampai disitu, sebab kami masih butuh menu khas ahli hisap, adalah kopi, rokok dan diskusi lepas dengan topik berat yang terasa ringan, meski panjang, itulah kekuatan kopi. Rasanya, tidak bisa berpanjang-lebar lagi membuka topik, baiklah.

Bahwa, Hukum Acara Pidana dianggap dapat memberi perlindungan kepada hak asasi manusia seimbang dengan kepentingan umum. Ketika menyimak sebuah prinsip, asas dan kaidah kemudian menyatakan bahwa itu cuma teori, bermasalah ketika diterapkan.

Mereka yang berperilaku seadanya seperti pokrol yang membunuh karakter Advokat, memukul rata apa yang bahkan tidak atau belum pernah dijalankan hanya sebagai teori dan tunduk pada kebiasaan – budaya bawah meja dan pasrah tapi menikmati peradaban ngawur, ambil untung dari masalah orang – namun ketika kita paham bahwa ternyata hal-hal itu adalah alas dari penerapan hukum maka kita sedang berbicara juga tentang konsekuensi hukum, sanksi, inilah yang melahirkan implikasi jika tidak dijalankan, dengan basis etik, kemapanan berhukum dan HAM.

Tidak bisa membedakan antara teori dengan asas, prinsip dan kaidah, banyak yang disimpangi, budaya bawah meja jadi darah daging praksis, pelanggaran tidak terkendali dan celah praktek subordinasi makin menganga, sehingga opresi makin aktif dan massive terhadap masyarakat, serta kehormatan Advokat mudah diruntuhkan.

Komisi XIII, hakikatnya merupakan transformasi dari Badan legislasi (Baleg) dengan penyesuaian dari pemecahan kementerian, dalam konteks ini yang mempunyai tugas antara lain menyusun rancangan program legislasi nasional, menyiapkan dan menyusun RUU usul Badan Legislasi dan/atau anggota Badan Legislasi berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan, melakukan harmonisasi konsep RUU yang diajukan anggota, komisi, atau gabungan komisi sebelum disampaikan ke pimpinan DPR, membahas dan mengubah RUU, memantau dan meninjau undang-undang dan mengevaluasi pembahasan materi muatan RUU melalui koordinasi dengan komisi atau pansus.

Secara kontekstual, ada titik singgung antara Komisi III dengan Komisi XIII, namun secara substantif keduanya mempunyai fokus yang berbeda, yang pertama subjeknya adalah penegak hukum secara institusional/kelembagaan, sedangkan yang kedua objektif berbicara dalam lingkup penerapan hukum secara substansiil berkaitan dengan HAM.

Tentang regulasi utuh dengan kelindan hak asasi manusia yang kompleks, termasuk juga putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, berbicara sistem yang dibangun dalam rumusan HAP atas due process of law, embrio dari integrasi para fungsionaris kekuasaan kehakiman, seperti omnibus sehingga tidak boleh sektoral.

Disamping itu, ada Badan Aspirasi yang juga erat terkait dengan hal-hal tersebut diatas, yaitu menyampaikan hasil penelaahan kepada Alat Kelengkapan Dewan terkait untuk ditindaklanjuti, melakukan monitoring terhadap tindak lanjut oleh Alat Kelengkapan Dewan, dan menerima aspirasi masyarakat dalam melaksanakan meaningful participation pada setiap tahapan pembahasan RUU.

DPR-RI sendiri menyatakan bahwa berdasar hasil kajian berbagai organisasi masyarakat sipil, KUHAP sebagai rujukan utama dalam menjalankan proses peradilan pidana di Indonesia menjadi penting sebab KUHP Nasional akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.

Ketua Komisi III, Habiburokhman, pada hari Senin, tanggal 2 Desember 2024, menyatakan akan menyoroti perlunya langkah revolusioner dalam reformasi sistem hukum pidana Indonesia. Salah satu fokusnya adalah agar lembaga praperadilan dapat berperan lebih aktif dalam menjamin keadilan, masalah ketidakpuasan masyarakat.

Poin penting lainnya adalah penguatan perlindungan hak-hak tersangka, penegasan aturan terkait akses tersangka terhadap penasihat hukum, serta perlunya protokol jelas untuk meminimalkan risiko kekerasan dalam proses hukum. Intinya, menurut Komisi III sendiri bahwa RUU KUHAP berupaya menghadirkan sistem hukum yang lebih berpihak kepada masyarakat.

Ketika membahas Hukum Acara Pidana maka kita sedang berbicara tentang sistem dan penerapan, tidak hanya penegakan, ketiganya inheren. Tentunya ada persinggungan antara kedua Komisi dengan substansi Hukum Acara Pidana maka mestinya Panitia Khusus (Pansus) dapat dibentuk sebagai jembatan penghubung, sebab, pasti ada hal-hal tertentu yang tidak cukup dibahas dalam panitia kerja (panja), komisi, atau badan tertentu.

Apalagi, basis pijakan HAP adalah prinsip peradilan yang adil (fair trial), HAP harus dibentuk agar para unsur penegak hukum yang terkait di dalamnya jangan sampai melakukan paksaan kekuasaan (abuse of power), maka, bagaimana mungkin substansi Acara Pidana yang pasti menyentuh HAM dibidani oleh Komisi III?

Jika berargumen bahwa permasalahan HAP dapat dibawa ke Mahkamah Konstitusi, maka DPR-RI sebagai pembentuk UU berpotensi mengabaikan tanggungjawab, inkonsisten dengan inisiatifnya sendiri – terhadap materinya, bukan soal pekerjaannya – dengan kata lain, logika politik itu mengatakan bahwa masalah masyarakat sendiri yang sudah difasilitasi dengan MK, tidak fair dan memperpanjang masalah.

Bukankah lebih baik berpanjang waktu ketimbang masalah? Dan, bukankah Parlemen ini tempat dimana rakyat meletakkan kepercayaannya? Lalu, kenapa hendak mencuci tangan dan melempar tanggungjawab?

Sungguh, politik hegemoni yang tidak elok lagi cantik, terlalu mudah dibaca tapi tetap sembunyi dalam kuasa dan kewenangan seolah kita masih membaca, padahal sudah tuntas.

Sementara, dalam Rapat Paripurna ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025, hari Selasa, tanggal 18 Februari 2025, DPR-RI menyetujui RUU KUHAP menjadi usul inisiatif DPR, sebagai langkah penting agar regulasi yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, modern dan berkeadilan, memastikan proses peradilan pidana berjalan lebih transparan, efisien, dan sesuai dengan prinsip keadilan.

Bahkan, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai implementasi hukum acara pidana saat ini sudah berada dalam batas mengkhawatirkan, terkait banyaknya pelanggaran hukum acara yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia, maka KUHAP harus berpegang teguh pada prinsip due process of law, mekanisme checks and balances, penghormatan pada hak asasi manusia, membentuk mekanisme uji upaya paksa dan mekanisme keberatan atas tindakan penegakan hukum yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan hak asasi manusia.

Penulis mengutip pendapat Romli Atmasasmita [2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 60] yang dikutip pula oleh Prof. Eddy Hiariej mengenai alas pertimbangan disusunnya KUHAP, singkatnya, penulis kutip agar tulisan ini relevan dan konsisten, yaitu perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa), perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan, dan mewujudkan Hukum Acara Pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Bahkan, Pedoman Pelaksanaan KUHAP merumuskan tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkannya secara jujur dan tepat, untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. [Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, Modul 1 Pengantar Hukum Acara Pidana, hlm. 1.10-1.11]

Tepat dan beralasan, setiap warga negara yang berurusan dengan hukum dapat melakukan gugatan terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum sepanjang gugatan tersebut secara expresiv verbis tertuang dalam undang-undang. [Eddy, O.S Hiariej, 2008, Asas-Asas Dalam Hukum Acara Pidana, disampaikan dalam diskusi terbatas Eksaminasi Putusan Pra-Peradilan atas Gugatan Pra-peradilan PT Inti Indosawit Subur Terhadap Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia, FH-UGM, Selasa, tanggal 22 Juli 2008, Yogyakarta, hlm. 3]

Muladi mengatakan bahwa makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam sinkronisasi kultural (cultural syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. [Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, hlm. 1-2]

Konsekuensi yang tidak hanya logis, melainkan juga menjadi syarat dari negara hukum dengan rule of law bersendi pada pengakuan dan perlindungan HAM, legalitas dari tindakan negara/pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan yang bebas, syarat mendasar dari terpenuhinya parameter negara yang merawat HAM.

Dapat dikatakan bahwa ide dasar HAP ialah asas praduga tidak bersalah sebagai bentuk perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang fundamental. Sebagaimana juga termaktub dalam dokumen internasional Pasal 11 ayat (1) dari Universal Declaration of Human Rights 1948 yang menyatakan, “Setiap orang yang disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka dan yang memberikan jaminan bagi pembelaannya.” (terj.)

Demikian juga Pasal 14 ayat (2) International Convenant On Civil and Political Rights 1966 yang menyatakan, “Setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum.” (terj.)

Sebuah sistem peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa, atau terpidana sebagai manusia. Maka, perumusan HAM dalam RUU KUHAP secara substansial adalah spesifik ranah dari Komisi XIII DPR-RI.
Beranda