Prinsip Kehormatan Untuk Advokat

Sementara, kecewa soal rumusan pasal-pasal dalam rancangan UU yang saling bertentangan karya pakar dan intelektual, katanya, lengkap dengan catatan debat kusir dari mereka yang tidak tahu dan tidak percaya bahwa upaya tengah berjalan, merasa harus melihat hasil tertentu.
Menunggu racikan dari kebun Sidikalang di tanah Deli tempat orang Polandia menanamkan modal, disanalah juga ada dibangun konstruksi poltik etis Advokat di awal perjuangan, membuka sejarah persaingan usaha Belanda dengan Jepang, Eropa suka TipTop tapi lidah Asia memilih Jangkie, angka 1929 ataupun 1934 tidak merubah citarasa kopinya.
Ditinggalkan Deliaan, para elit onderneming sejak Perang Dunia ke-II, sehingga nuansa asimilasi kebesaran dunia seperti Cina, Belanda, Jepang, Polandia, Maryland (Inggris-Amerika), Helvetia, Paris dan Medan mulai luntur.
Dalam lema European Wijk, menyusun ide, rumus dan konsepsi di dunia hukum dengan teman yang selalu membersamai, nikmati kopi setelah berbuka sambil mendengarkan piano dari Grigory Sokolov memainkan karya Rameau, Les Cyclopes, demikian ceritanya.
Mal-Praktik Penegak Hukum
Menurut Prof Mr. Dr. L.J Van Apeldoorn sifat accusatoir acara pidana adalah prinsip dimana pendakwa dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, melakukan pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang hendak memihak.
Tersangka memberikan keterangan harus dalam keadaan bebas, tanpa tekanan, intimidasi, tanpa paksaan, dan penyidik mencatat sesuai kata-kata dari tersangka. (vide Pasal 52 KUHAP jo Pasal 117 KUHAP)
Tapi, dominasi accusatoir ini memaksa orang tunduk pada interogasi mengacu International Criminal Investigative Training Assistance Program (ICITAP), model komunikasi instrumental bertujuan. Terperiksa dikondisikan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh si pemeriksa.
Praktik pemujaan ajaran Roscoe Pound dengan konsep hukum sebagai alat rekayasa masyarakat, demi keuntungan politik, mengukur validasi kekuasaan, tersirat intensi kuat mengendalikan masyarakat.
Accusatory artinya memang fitnah atau menuduh, sedangkan inkuisisi mengadopsi lembaga penyelidik sekaligus menghukum mereka yang dianggap sesat atau bertentangan. Dua asas yang cenderung menempatkan tersangka sebagai objek.
Identik, Gramsci berkata bahwa hegemoni tidak hanya dilakukan melalui institusi negara tetapi juga dominasi wacana, mengendalikan status quo, sekaligus melemahkan wacana alternatif yang dapat mengubah tatanan sosial.
Maknanya, tersangka baru dianggap setara jika ada penasehat hukum, maka penting agar diberikan kesempatan bagi seseorang untuk dapat didampingi penasehat hukum sejak adanya aduan/laporan, sebab berdasarkan asas inilah tuduhan boleh ditimpakan.
Memaknai Advokat
Advokat dan Kantornya ialah wilayah private dimana para profesional bekerja, bukan tempat natuurlijk persoon, jadi sebelum beberapa prosedur pendahuluan (etik) dijalankan maka profesus terhalang dari adressat norm (tujuan norma) sebagai subjek hukum pidana umum dan/atau khusus.
Jika memang diperlukan maka semestinya antara APH dengan Advokat membuat semacam Berita Acara Pemberian Keterangan bersifat sans prejudice yang tidak bisa digunakan untuk kepentingan pembuktian, keterangan yang diberikan karena sistem, hati nurani dan demi kepentingan keadilan dan peradilan.
Ketika diangkat menjadi advokat, maka dilekati suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat dengan hak eksklusif, menyatakan pada publik bahwa ia seorang advokat yang berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, hingga menghadap di muka sidang pengadilan.
Keistimewaan ini menimbulkan kewajiban kepada masyarakat, untuk mempunyai kompetensi pengetahuan di atas rata-rata, dan mempunyai integritas, yang oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they know that certain of their brethren are quilty).
Bahkan juga menyempurnakan hukum dan penyelenggaraan sistem peradilan yang mendukung kewenangan pengadilan dan menjaga kewibawaan sidang, sehingga harus patuh pada aturan-aturan sopan santun.
Permusuhan tidak boleh mempengaruhi para advokat, sebagaimana postulat, “Do as adversaries do in law: strive mightily, but eat and drink as friends”.
Tidak sederhana berbicara dalam konteks dokumen Internasional Universal Declaration of Human Rights 1948 dan International Convenant On Civil and Political Rights 1966 sebab menjadi hambar oleh International Criminal Investigative Training Assistance Program (ICITAP).
Rasio APH ialah Pasal 115 ayat (1) KUHAP, Advokat itu pasif, dan tidak boleh aktif, yang bisa diusir jika tidak kooperatif. Mungkin penasehat hukum memang dihormati atau malah hanya dianggap formalitas ketika melengkapi tersangka, dua objek remeh ketika terpisah.
Cara bertindak dalam menangani perkara yang selalu berkelindan dengan sejawat penegak hukum memang seringkali berhubungan dengan catatan hukum antar penegak, dengan sifat-sifat, yaitu Sans Prejudice dan Add Informandum.
Prinsip saling menghargai dan menghormati dalam menjaga rahasia harus dijalankan, apalagi Advokat tidak boleh diidentikkan dengan klien dan bukan alter-ego kliennya.
Mengenal Kembali Hukum
Kepahaman dan ketepatan penempatan antara kata UU dengan hukum berimplikasi sangat luas. Artinya, APH baru dapat menerapkan rigiditasnya di muka penghukum, yaitu hakim. Karena itulah maka disebut Penegak Hukum, bukan penegak UU.
Sekedar menjalankan perintah UU sebelum memasuki pengadilan. Ini harusnya mengilhami sikap-perilaku penegak hukum ketika berhadapan dengan orang yang diduga telah melanggar norma pidana.
Harus menghormati HAM, bahkan secara implisit harus tetap mempunyai keraguan atas kebersalahan orang yang didakwa hingga saat hukum ditegakkan, yaitu setelah putusan dijatuhkan.
Hakimlah yang membentuk hukum dengan mendudukan antara norma yang didakwakan, pembuktian dan keadaan-keadaan yang melingkupi peristiwa hukum. Ketiga hal ini akan saling berhadapan untuk diuji dimuka persidangan.
Satjipto Rahardjo mengatakan, “Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi”.” [FX. Adji Samekto, Justice Not For All “Kritik Terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis”, (Yogyakarta: Genta Press, 2008) Hlm. 72]
Masalah memprihatinkan terkait diferensiasi fungsional adalah APH hampir tidak pernah menjalankan fungsi, peran dan kewenangan yang sebenarnya, selain kewenangan diskresional, menilai dan menafsir sesuai paradigma institusi, inilah masalah utamanya.
Putusan Pengadilan Adalah Hukum Yang Menguji UU Dengan Nilai
Norma UU itu akan terbentuk sebagai hukum yang harus dijalankan setelah melalui proses persidangan, pertimbanganlah alasnya, bukan dakwaan, berita acara maupun pembuktian sebenarnya didudukan sebagai perspektif untuk meyakinkan Hakim.
Jika tidak, maka praktik selama lebih dari 70 tahun tidak berubah, orang sudah disangka sebagai pelaku sejak dilaporkan/diadukan, divonis sebagai pesakitan sejak ditetapkan sebagai tersangka, dan sejak persidangan dianggap sebagai penyakit, putusan pengadilan hanyalah kesimpulan formal yang melegitimasi, totalitarian juristocrative fallacy.
Renungkan kembali atas pernyataan Holmes yang menyatakan, bahwa para juris tidak seharusnya puas dengan bentuk-bentuk dangkal dari kata-kata, semata-mata hanya karena kata-kata bersangkutan telah sangat sering digunakan dan telah diulang-ulang. [Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) Hlm. 50]
Kelahiran hukum adalah untuk menjaga hidup manusia, karena itulah jika ada masalah dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.
Konsep judge made law atau penemuan hukum (rechtsvinding) diserap oleh UU Nomor 48 tahun 2009 yang dalam Pasal 10 ayat (1) menyebut bahwa, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Mengisyaratkan kepada hakim untuk berperan dalam menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum. [Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1986) Hlm. 7]
Apalagi menurut Bagir Manan, rumusan UU yang bersifat umum tidak pernah menampung secara pasti setiap peristiwa hukum. [Bagir Manan, Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005) Hlm. 209]
Putusan yang ideal ialah putusan yang memuat idee des recht (cita hukum), yang meliputi tiga unsur yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. [Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1990) Hlm. 15]
Advokat Sebagai Fungsionaris Kekuasaan Kehakiman
Satjipto menolak pandangan dimana manusia boleh dimarjinalkan asalkan hukum tetap tegak, justru hukumlah yang boleh dimarjinalkan untuk mendukung proses eksistensionalitas kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan. [Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Menggagas Hukum Progresif Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) Hlm. 5]
Menurut open system van het recht dan freirechtslehre, UU yang dibentuk oleh kekuasaan negara selalu tidak realistis, tidak lengkap dan selalu tertinggal, sehingga dinyatakan bahwa bentuk hukum bukan sebatas UU, namun pada putusan hakim dan tindakan-tindakan yang dilakukan dan diputuskan oleh pelaksana hukum.
Secara implisit istilah ‘penemuan hukum’ menunjukkan adanya entitas hukum yang telah berlaku dalam masyarakat, tetapi belum diketahui sehingga diperlukan usaha untuk mendapatkannya, bersesuaian dengan doktrin ibi societas ibi ius (Cicero), dimana terdapat masyarakat berlakulah hukum tertentu di dalamnya. [N.E. Algra dan K. Van Duyvendijk, Pengantar Ilmu Hukum, penerjemah: J.C.T. Simorangkir, (Jakarta: Binacipta, 1991) Hlm. 324]
Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman menjadi dasar bahwa hakim dapat menjadi perumus dan penggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga harus terjun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan menyelami kehidupan masyarakat, sehingga hakim dapat mengesampingkan UU dalam menjatuhkan putusan demi nilai-nilai yang hidup.
Embrio fungsi kekuasaan kehakiman yang muncul dari tengah-tengah masyarakat hanya terekam dalam satu figur orang bebas yang membebaskan (opera liberlis), yaitu Advokat yang lepas dari konflik kepentingan kekuasaan dan seragam penguasa, yang memiliki integritas officium nobilium yang bukan hanya sekedar corong UU (la bouche de la loi), dia yang expose the rule to build law (menelanjangi aturan untuk membangun hukum) sebab mengemban hukum (rechtsbeoefening).
Mustahil bukti manusia dapat lebih terang ketimbang cahaya dari Tuhan, oleh karena itulah dibutuhkan Advokat untuk membawakan lentera agar suatu perkara mendapatkan penerangan untuk dilihat dengan lebih seksama ketimbang dalam gelap.
Menurut Hans Julius Wolff [Roman Law, A Historical Introduction, 1978:97], di jaman Cicero, Advokat memberikan Responsa (pendapat hukum Juristconsults), yang meletakkan ide mereka untuk memberi efek keyakinan.
Dan, asas mendasar yang dipanggul Advokat di atas punggungnya dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system) adalah presumption of innocence dan asas equality before the law.
Tentang menjaga hak orang yang berhadapan dengan hukum pidana untuk tidak dianggap bersalah sebelum putusan berkekuatan hukum tetap, juga soal hak orang untuk ditempatkan dengan setara, diperlakukan sama baiknya dan akses hukum yang sama, yang menimbulkan kewajiban bagi APH untuk melayani hal-hal tersebut tanpa alasan apapun.