Membuka...

MEMURNIKAN PERADABAN ADVOKAT


Rapat Dengar Pendapat Rancangan Undang-Undang Advokat terutama tanggal 6 Februari 2002, 17 Juni 2002, 30 Januari 2003 pendapat Natabaya, bang Buyung, Agun dan Sahetapy yang menjadi original intent, pada intinya menyebut federation of association, sejarah multibar, menginginkan adanya satu badan nanti merupakan badan federasi, konfederasi atau unitair, tetapi dengan satu kode etik, satu dewan kehormatan. Tidak etis menetapkan bentuk dan strukturnya saat itu sebab bertolak belakang dengan prinsip kebebasan dan kemandirian.

Identik, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 683/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst tanggal 12 September 2018, Majelis Hakim menilai pengadilan tidak berwenang memutus sengketa keabsahan kepengurusan organisasi advokat yang seharusnya diputuskan oleh Mahkamah Advokat, menjiwai resultan dalam pembahasan RUU Advokat tahun 2002-2003.

Kemudian, Administrasi Hukum Umum sedapat mungkin tidak menyimpangi RDP di DPR-RI Komisi III sepanjang 2002-2003, dinyatakan tanggal 16 Juni 2002 dan 30 Januari 2003, intinya jangan menambah panjang birokrasi yang menimbulkan persoalan baru, dan tidak boleh diawasi oleh pemerintah yang saat RDP mengakui salah kaprah.

Kita tidak boleh terjebak dalam hal yang termasuk dalam kategori executive acts, dan itu diluar konteks Advokat dan Organisasi Advokat sebagai quasi otonom, entitas tersendiri/khusus dengan Fungsi Kekuasaan Kehakiman.

Akta Pendirian Organisasi Advokat adalah bagian dari protokol Notaris yang menurut UU 2/2014 Tentang Perubahan Atas UU 30/2004, pasal 1 angka 13 mendefinisikan Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara, sehingga tidak boleh ada yang mereduksi Akta Notariil sebagai arsip negara kemudian (salinannya) diperlakukan hanya sebagai dokumen pendukung administrasi kepemerintahan.

Perang urat syaraf di tingkat elite kembali terjadi di dunia Hukum, kekacauan legal standing, merangkul atau menempatkan diri sebagai pejabat negara yang notabenenya adalah supra struktur politik, sementara Advokat adalah infra struktur dimana peran strategis infrastruktur politik dalam situasi semacam ini melemah dihadapan supra struktur politik.

Bukan sinergitas mutualis tapi simbiosa parasitis, sebab berada didalam lingkaran, melumpuhkan kemandirian Advokat sebagai quasi otonom dalam tata negara. Masyarakat Advokat tidak akan bisa berbuat lain kecuali euforia dengan menikmati kekuatan dan kekuasaan semu yang seringkali memicu perseteruan lokal sebab debat kusir dengan pemahaman seadanya sehingga politik sulit tunduk pada hukum.

Ide Dewan Advokat Nasional dikonstruksikan sebagai benteng pertahanan Advokat dari Politically Empowered Profession yang tentunya mempunyai kekuatan tertentu yang potensial opresif/menekan, disini, DAN dapat mereview aturan-kebijakan yang berpotensi merugikan profesi dan memicu stigma negatif sebab intrusi dan instrumentasi politik penguasa, dan di ranah Yudikatif menjadi embrio Organ Parket.

Makna implisit dari berkumpulnya lembaga trias politika dalam aktivitas sebuah Organisasi Advokat, terhadap para pihak yang sebenarnya mendukung teori single bar, acontrary, kehadiran pada momen itu membiarkan dan mengakui alur multibar, apapun alasannya dalam hukum dikenali sebagai kesengajaan apa boleh buat atau in kauf nehmen atau op de koop toenemen theorie, sebab ini juga menyangkut politik secara kontekstual yang dalam keseharian disebut dilema.

Padahal, masih ada beban tugas dari DPR-RI untuk mempertimbangkan urgensi revisi UU Advokat, penguatan Advokat dalam KUHAP dan etika Advokat.

Problem seringkali muncul dari situasi semacam ini, kalaupun tidak diakui potensi conflict of interest maka ini selalu menjadi kerancuan asumtif atas pemilahan status, kekacauan struktur yang sulit dilepaskan keterkaitannya.

Dalam perspektif penulis, sadar atau tidak Pemerintah dan DPR seolah lepas dan cuci tangan serta abai terhadap elemen mendasar dari sistem penegakan hukum sebagai bagian dari pembentuk UU, asik bermain atas angin.

Ironis, diwaktu yang hampir bersamaan juga muncul kontroversi dengan terbitnya surat pemecatan anggota tanpa adanya sidang etik, yang memicu Pengadilan Tinggi untuk menindaklanjuti dengan pembekuan Berita Acara Sumpah yang tidak mempunyai alas hukum.

Pemberhentian Advokat secara profesional hanya bisa dilakukan oleh OA melalui putusan sidang etik, secara normatif berdasarkan UU Advokat, sebagai berikut:
1. Pasal 10 ayat (1) huruf c, Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.
2. Pasal 10 ayat (2), Advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berhak menjalankan profesi Advokat.

Konsekuensi dari pemberhentian tersebut – sementara atau permanen – adalah kehilangan hak profesional. Secara prinsip penulis maknai, demikian:
1. Surat Keputusan Pengangkatan mutatis mutandis tercabut;
2. Advokat kehilangan hak profesional;
3. Konsekuensinya BAS kehilangan objek dan konsiderasi dan tidak berlaku;
4. Advokat harus diangkat lagi di OA lain (jika memungkinkan) dan kembali ambil sumpah dengan permohonan baru.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009, hal. 35, huruf f, intinya bahwa penyelenggaraan sidang terbuka Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah Advokat yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat merupakan kewajiban atributif atas perintah UU. Jadi, bukan karena wewenang maupun kekuasaan.

Linear dengan materi Surat Komisi Yudisial (KY) kepada Mahkamah Agung tertanggal 22 April 2014 Nomor 380/P.KY/04/2014. Jadi, tindakan Pengadilan Tinggi tentang pembekuan Berita Acara Sumpah adalah tindakan yang tidak perlu.

Bahkan, menurut (alm.) bang Buyung, maksud dari Sumpah di PT itu karena menghormati Mahkamah Agung supaya lebih sakral dan keterikatannya dengan Kehakiman, bukan keharusan, sebab sebenarnya tidak perlu.

Pihak yang merasa dirugikan dengan perilaku Advokat dapat mengadukan kepada Dewan Kehormatan OA darimana rekomendasi berasal maka Mahkamah dapat melakukan mekanisme pencoretan dari daftar e-Court, tidak lebih, sebab pencabutan Surat Keputusan Pengangkatan oleh Organisasi Advokat mutatis mutandis membuat Berita Acara Sumpah kehilangan objek dan tidak berlaku.

Namun, dari penelusuran penulis salah satu Advokat yang dibekukan BAS-nya jauh sebelumnya mengaku sudah mengundurkan diri secara formal, sehingga jika benar demikian maka seharusnya yang lahir adalah SKEP atas pengunduran diri, bukan pemecatan.

Honorary Chairman Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, melalui Hukumonline berpendapat bahwa dalam kasus dugaan terjadinya pelanggaran etik yang dilakukan oleh advokat di ruang sidang, pengadilan seharusnya mengajukan pengaduan kepada organisasi advokat terkait.

Patut dicontoh ketika 9 Hakim Mahkamah Konstitusi mengadukan Adv. Prof. Denny Indrayana kepada Kongres Advokat Indonesia (KAI) karena dugaan melakukan pelanggaran etik profesi advokat adalah langkah yang sangat bijak dan tepat. Sehingga pada akhirnya Dewan Kehormatan KAI membentuk Majelis Etik untuk memeriksa yang bersangkutan.

Lagipula memang pengaturan Contempt of Court belum ada seperti amanat penjelasan umum butir 4 UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah oleh UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang masih membutuhkan pengaturannya dalam bentuk UU yang hingga saat ini masih belum final sebagai RUU.

Mengenai gaduh ruang sidang sebab konflik antar pribadi yang berprofesi sebagai Advokat, dan pola lainnya terkait rusuh Pengadilan, menjadikan Dewan Kehormatan Pusat Bersama Organisasi Advokat Indonesia adalah hal yang urgent.

Dan, jika organisasi dimana Advokat bernaung tidak atau belum mempunyai DK aktif atau DK atau Komwas-nya pasif maka Advokat atau bahkan masyarakat dapat menyampaikannya kepada DKPB-OAI.

Dalam perkara pidana, hendaknya Pengadilan menolak penuntutan individu dengan peristiwa perkara yang masih terikat dengan aktivitas ketika menjalankan profesinya sebagai Advokat, masalah profesional atau tidak adalah ranah kewenangan DK-OA terkait, penting dilakukan naturalisasi subjek natuurlijk persoon, sebab profesi menghalangi adressat norm pidana yang secara sistematis diatur secara khusus, berbeda dengan okupasi dan pribadi.

Dengan demikian, Pengadilan melakukan judicial activism yang bukan disebabkan oleh ketidakwenangannya melainkan karena proses administrasi hukum yang belum memenuhi syarat atau premature.

Bahkan, tampak bahwa sebenarnya banyak sekali yang tidak memahami materi dari UU Advokat itu sendiri, atau bahkan jumawa memiliki UU tapi abai ketika muncul momen untuk tampil, sehingga lalai telah terjadi sengketa kewenangan antar organ.

Dalam tata negara, Advokat adalah infra-struktur politik sebagai quasi otonom dengan sifat self regulating body, demikian kutipan dessenting opinion dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XX/2022, “…infrastruktur politik berperan dalam memberikan masukan (input) kepada suprastruktur politik…”.

Konsekuensi dari ambivalensi supra dan infra, tafsir parsial dan ketidakpahaman tentang profesi Advokat mengakibatkan kekacauan paradigma, Advokat tersubordinasi dalam sistem penegakan hukum bahkan kehilangan kemandirian akibat ketergantungan terhadap elite, yang secara tidak tidak sadar mengakui ketidakmampuannya mandiri, menundukkan diri pada politik praktis yang pragmatik, parsial dan tendensius, merusak persepsi masyarakat terhadap Advokat, dan pandangan serta stigma negatif terus bertambah.
Beranda