Mosaik Identitas Profesi Dan Peradilan Digital
“AI tidak akan menghilangkan kebutuhan akan pengacara, tetapi menandakan akhir dari pengacara seperti yang kita ketahui.” Andrew Perlman

Kita sudah pada era post truth di mana kebenaran terdegradasi menjadi keyakinan pribadi dan keterikatan emosional, masyarakat lebih mencari pembenaran daripada kebenaran. Fenomena sosial ketika kita bingung memilah-pilih benar atau salah untuk disikapi.
Ditambah lagi tradisi no viral no justice, masih segar kontroversi Audrey, masifnya persebaran informasi tak jelas terkait kasus pembulian ini hingga banyak yang mendukung Audrey, namun perlawanan atas hoax membalikkan keadaan.
Dalam dunia hukum, bakal makin bertambah kesibukan Hakim yang masih harus memeriksa produk Artificial Intelligence (AI) memang shahih, dan akan tetap dijalankan res judicata pro veritate habetur sebab yang diputus hakimlah yang harus dianggap benar.
Sifat keingintahuan manusia yang tinggi bisa jadi kesulitan bagi perancang AI untuk mempertanggungjawabkan keshahihan produk dari AI yang diciptakannya yang bekerja untuk menyusun pendapat.
Ada hal yang mengkhawatirkan bagi penulis, yaitu “teknis saling mengganggu antar produk AI”, ini bisa menyesatkan manusia dalam pemanfaatan teknologi, apalagi jika sampai mengalihkan kepercayaan dari manusia kepada mesin.
Teknologi AI bagi pemerintah atau penguasa bisa menjadi alat baru, seperti dikutip dari Justice DY Chandrachud, – “Teknologi relevan bagi pemerintah karena mendorong transparansi, efisiensi, dan objektivitas.” [1]
Sebaliknya, Regulator internet China mengusulkan kewajiban pembuat produk AI, baru untuk tunduk pada penilaian keamanan sebelum dirilis ke publik, konten yang dihasilkan oleh produk AI masa depan harus mencerminkan "nilai-nilai inti sosialis" negara dan tidak mendorong subversi kekuasaan negara. [2]
PROBLEMATIKA AI
Hukumonline memaparkan kasus advokat yang mengajukan legal brief dengan memanfaatkan fasilitas AI, yaitu ChatGPT. Di dalamnya memasukkan kutipan pendapat pengadilan yang belakangan diketahui tidak ada keberadaannya atau merupakan kasus palsu buatan ChatGPT. Disini, Hakim P. Kevin Castel berpendapat tentang peran gatekeeping role oleh advokat untuk memastikan keakuratan pengajuan mereka, ini menarik. [3]
Masalah serius juga terjadi di Italia, chatbot OpenAI telah melakukan pelanggaran data yang melibatkan percakapan pengguna dan informasi pembayaran. [4]
Di China, bahkan masih ada keraguan akan akuntabilitas dan akurasi dari produk AI, lagipula diakui bahwa Hakim tidak memahami mekanisme pengambilan keputusan AI sehingga jauh lebih sulit bagi warga negara untuk meminta pertanggungjawaban hakim dan pejabat pemerintah.
Identik dengan pertanyaan Niels Martin Brochner, Dewan Teknologi Forbes, "Siapa yang bertanggung jawab ketika robo-lawyer memberikan nasihat yang membawa malapetaka?" [5]
Masih ada beberapa masalah AI yang belum terselesaikan, seperti masalah kerahasiaan dan keamanan saat ia menyimpan informasi kita dan AI bisa saja menggunakannya dalam konteks lain.
Menurut McKay Cynthia Dwork tentang keadilan algoritmik, dikatakan “Algoritma tidak memiliki akses ke kebenaran dasar” (istilah komputer untuk veritas ). Ia bisa menipu bahkan memanipulasi, kemampuan AI untuk menciptakan bukti dari ketiadaan dapat menyebabkan kerusakan serius pada sistem hukum. [6]
Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono dilaman hukumonline mengatakan, berbagai layanan hukum pun telah bergeser dari yang konvensional menjadi berbasis aplikasi. Seperti konsultasi hukum dilakukan secara online. Namun, Bayu mengingatkan teknologi dimanfaatkan sebagai alat bantu melakukan aktivitas pemberian layanan hukum. [7]
MASYARAKAT DIGITAL
Teori Budaya Media Partisipatoris dari Henry Jenkins menjelaskan bahwa sifat dari teknologi adalah interaktif dan mendorong munculnya budaya partisipatif [8]. Budaya ini menjadikan orang awam mampu menciptakan dan mengubah informasi. Inilah yang bakal ditangkap oleh AI sebagai data yang siap diolah, misal oleh Algoritma trending topic yang mungkin seperti simulacra-nya Jean Baudrillard.
Literasi sudah berubah ke digital, dekat dengan propaganda Paul Joseph Goebels, “A lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes truth”, apalagi masyarakat awam enggan memeriksa ulang informasi yang bertebaran, semua menjadi terlalu sederhana, tidak serumit penciptaan teknologinya.
Bisa saja di Indonesia akan berbeda dengan negara lain soal peradilan, netizen mempunyai ruang sendiri untuk mengadili, seadanya atau tanpa pengetahuan hukum sama sekali, persis era pokrol bambu apus, tradisi vigilante yang sudah terbentuk, bereinkarnasi menjadi pengadilan umum dan mulai mencampuri proses peradilan.
Situasi ini menjadi linear dengan rapuhnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum, masyarakat memilih ruang dan media sendiri untuk mengekspresikan emosi melalui pendapatnya.
Penulis meminjam idea John Bliss [9] yang mengeksplorasi pembentukan identitas profesional mahasiswa Hukum dalam kerangka mosaik identitas profesional Advokat, yaitu "apakah identitas profesional pengacara yang berpengalaman terpusat dan terintegrasi dengan identitas pribadi mereka?"
Pertanyaan ini belum tentu bisa dijawab oleh AI melainkan kepada diri sendiri sebagai profesional Advokat di dunia hukum berdasarkan pandangannya terhadap dunia profesinya yang tidak patut diwakili oleh data terbanyak di internet, akan tetapi batin individu itu sendiri yang harus menjawab profesionalismenya, dan bisa jadi jawaban itu adalah tanggapan dari tantangan disrupsi kedepan.
Di ranah pembelajaran mesin, sumber daya yang diubah adalah diri kita sendiri atau paling tidak, data tentang diri kita sendiri, in cauda venenum, akan ada racun di ekor/buntut akan ada dampak negatif ketika manusia pemanfaat AI tidak memberikan data yang benar, dilain pihak data itu sangat privat yang bisa menjadi senjata makan tuan.
Menurut penulis, apa yang tidak bisa dimanipulasi oleh AI adalah literasi kemanusiaan yaitu nalar, naluri dan budi. Masih diperlukan acuan jelas untuk menguraikan kewajiban AI, harus ada pihak yang akuntabel untuk mengendalikan tindakan AI dalam ranah hukum, dan perlunya perlindungan atas privasi data yang lebih kuat.
Ini tentunya akan menjadi stimulan bagi Hukumonline untuk terus berinovasi membantu para profesional hukum dalam pekerjaannya, di dunia hukum sudah sangat dikenali platform Ask Hukumonline yang didukung teknologi generative AI GPT-4 yang dikembangkan.
Peraturan perundang-undangan terkait teknologi AI di Indonesia meski sudah ada namun masih terbatas, antara lain:
2. UURI Nomor 11 Tahun 2008, dan
Mungkin, bukan profesional hukum yang sepenuh hati memanfaatkan AI melainkan masyarakat yang membangun budaya baru melalui media peradilan digital sebagai netizen, meski saat ini sulit institusi hukum memperoleh kembali kepercayaannya, namun secara kodrati manusia masih membutuhkan manusia lainnya untuk berekspresi menyempurnakan peradilan digitalnya diruang nyata, dan rasanya intuisi profesi hukum tidak mudah terdisrupsi.
Referensi:
[1] https://akaike.ai/the-rise-of-ai-in-law/
[4] https://www.bbc.com/news/technology-65139406
[5] https://www.forbes.com/sites/forbestechcouncil/2023/05/25/will-ai-replace-lawyers/?sh=63ef54053124
[6] https://www.harvardmagazine.com/2019/01/artificial-intelligence-limitations
[8] http://henryjenkins.org/blog/2012/07/participatory_politics_new_med.html
[10] https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt634e841e24ca9/undang-undang-nomor-27-tahun-2022
[11] https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/27912/undangundang-nomor-11-tahun-2008
[12] https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt584a7363785c8/undang-undang-nomor-19-tahun-2016