Membuka...

Advokat Dalam Prosa Negara

Marx bilang, komunisme dimulai ketika atheisme mulai.

Kemudian Hitler menguraikan bahwa memang lebih sulit melawan keyakinan ketimbang pengetahuan, tapi perang di masa depan hanya perlu demoralisasi saja, hanya butuh sedikit hasud meyakinkan lalu perang akan terjadi dengan sendirinya dari dalam.

Tidak akan ada yang memeriksa kesahihan dari si pemenang, sebab simpati akan membentengi.

Tidak ada yang merasa dibohongi bahkan orang rela berkorban dan menipu diri sendiri karena fanatisme, semua sepakat, clapiers, demosthenes, goebbels, orwell, hoffer, chomsky dan banyak lagi bahkan menurut Auden dikatakan sebagai gema dari orasi, gerak keyakinan buta.

Sebetulnya tidak perlu sesulit itu, cukup pisahkan nilai keagamaan dari hak asasi dalam berdemokrasi, biarkan orang berekspresi maka disini sosialisme akan tumbuh dan tinggal menunggu waktunya menikmati kesegaran buah komunisme.

Dan disela itu Montesquieu bilang bahwa pelan tapi pasti si penguasa membuat tameng hukum dengan mengatasnamakan keadilan, orang akan diam karena sibuk dengan derasnya pilihan karakter kebebasan yang memikat jiwa tayang dalam perangkat pribadinya, untuk menentukan perannya.

Fasisme lahir dalam bentuk yang lebih disukai banyak orang, mungkin lebih berbobot sebab berasimilasi dengan harta, tahta dan hak asasi.

Memperhatikan perilaku diatas, embrio seperti ini sedang berkembang di Indonesia. Ia bukan hal yang asing dan terlarang, tapi perkembangan teknik penularan dan inkubasi sangat bisa menetaskannya.

Jadi ingat filosofi sumpah omerta mafioso Italia, manajemen Yakuza dan kartel Cuba.

Elite negara dalam arti yang sebenarnya, kesahajaan dan elegansi yang selalu jadi topik pemberantasan atas nama masyarakat (rekaan) modern yang sepanjang sejarahnya Cuma bikin cerita distopia, kemerosotan nilai secara dahsyat dalam masyarakat rekaan.

Politik berkata, “Salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi).”

Kemudian politik menyindir halus sekaligus menghasut dengan mengatakan, “spreekhuis van de wet (apa kata undang-undang itulah hukumnya) sehingga judex set lex laguens (hakim ialah hukum yang berbicara).”

Setelah mendengarkan itu, kemudian Hakim berkata dimuka umum, “resjudicata proveri tate habetur (setiap putusan hakim atau pengadilan adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi).”

Tidak lama setelah merasa didukung, lalu politik kembali berkata, “hakim adalah corong atau mulut undang-undang, yang mana menurut paham ini, hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum di luar undang-undang”, tapi, disini sudah tampak arogansinya ketika menyampaikan frasa dilarang menerapkan hukum diluar UU.

Saya baru sadar ketika menyeduh kopi beberapa purnama lalu, seringkali bahasan dimulai dengan pokok yang tendensius dan fatal (menurut saya), hukum sebagai produk politik, dan ini fallacy.

Karena yang produk politik (boleh jadi) hanya resultan (kesepakatan) politik yaitu peraturan per-uu-an.

Jadi mestinya UU sebagai produk politik sebab bila keliru maka akhirnya akan serupa dengan sistem peradilan pidana yang mensubordinasi Advokat.

Keliru bila menyebut hukum sebagai produk politik.

Sebaiknya kita luruskan jadi UU sebagai produk kesepakatan politik hukum, sedangkan produk hukum adalah putusan atas implementasi UU disini bisa jelas bahwa apapun produk politik maka harus melewati uji terapan oleh yudikatif.

Disini letak kecerdikan politik yang memasukkan unsur eksekutif kedalam yudikatif, yaitu kepolisian dan kejaksaan, ini seperti distraksi bagi masyarakat.

Secara umum tampak banget hasilnya, masyarakat cenderung tunduk pada seragam, dan kehakiman lebih cenderung pada 2 rekan kita oleh sebab sama-sama berseragam.

Sebaik apapun pertimbangan hukum dalam putusan hakim, apabila hanya mengedepankan kepastian hukum, maka yang akan terwujud hanyalah keadilan prosedural (procedural justice). Dan kepastian hukum dalam putusan yang adil menurut hakim sekalipun, bisa jadi justru ketidakadilan yang luar biasa bagi para pencari keadilan. Hal tersebut oleh Marco Tulio Ciceróna (Ciceró:106-43SM) disebut sebagai asas “summum ius, summa iniuria”.

Asas summum ius, summa iniuria, juga ditemukan dalam Black’s Law Dictionary 2nd Edition yang dalam padanan Bahasa Inggris disebut “Eat Strict right; extreme right the extremity or rigor of the law. Extreme law (rigor of law) is the greatest Injury; strict law is great punishment”.

Yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai "Hukum yang Absolut (kepastian hukum) adalah hukuman terbesar; hukum yang kaku adalah hukuman yang besar".

Secara sederhana, Penulis mengartikan Asas summum ius, summa iniuria sebagai "Kepastian Hukum Yang Absolut, Adalah Ketidakadilan Yang Tertinggi".

Setelah berjalan beberapa waktu, Bernardus Maria Taverne (1874-1944) seorang Majelis Pidana Mahkamah Agung Belanda berkata, “Geef me een goede Rechter dus zelfs met slechte wetgeving kan ik gerechtigheid brengen (beri saya hakim yang baik, sehingga dengan undang-undang yang buruk sekalipun saya bisa membawa keadilan).”

Dia tegas menjelaskan bahwa kita harus membedakan mana yang merupakan paham dan mana yang yang dapat disepakati secara umum, dan harus dimaknai bahwa seburuk UU namun Hakim harus membawa keadilan, memberikan hukumnya sehingga UU bila tidak tepat maka tidak boleh diterapkan jadi hukum positif, sebuah dorongan bagi para Hakim untuk tidak terjebak dan terbelenggu oleh sifat hukum tertulis atau undang-undang yang bersifat kaku.

Belanda saja yang menganut civil law namun Hakimnya juga memiliki pandangan hukum yang progresif dan tidak semata-mata menjadi corong undang-undang.

Dan politik merasa terdesak, sehingga dengan agak keras berkata, “interset reipublicae res judicatoas non rescindi (adalah kepentingan negara bahwa suatu keputusan tidak dapat diganggu-gugat).”

Sambil berbisik lagi kepada Hakim, “resjudicata proveri tate habetur (setiap putusan hakim atau pengadilan adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi).”

Sehingga, ketika dikatakan sebagai kepentingan negara maka Hakim mau tidak mau harus terlibat didalamnya, padahal ada kecenderungan diksi yang keliru yang menggeneralisir kata negara sementara maksudnya politisnya adalah kata ganti dari pemerintah, ini merupakan fallacy, kesesatan.

Di Indonesia, Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa peranan advokat dalam pengadilan ialah sebagai penjaga (pengawal) kekuasaan pengadilan, tentunya agar terdapat perimbangan untuk penguatan sikap yudikatif melalui lembaga Advokat yang tidak memihak kekuasaan apapun kecuali hukum.

Bahkan Mr. S.M. Amin sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman mengatakan, “Tugas sebenarnya dari seorang Advokat adalah membantu hakim mencari kebenaran.” [Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1983., hlm. 211]

Hans Kelsen seolah melakukan afirmasi pada Satjipto dan Amin dengan mengatakan bahwa organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function).

Oleh karena itulah, juga merupakan sebuah kehormatan bagi Advokat yang seringkali menerima stigma negatif si lingkungan hukum ketika Ennid Hasanuddin pada tahun 2019 mengatakan dalam sebuah forum kelas pada saat Pendidikan Calon Hakim (PPC Terpadu 2018-2019), “Masih banyak hakim yang memakai payung dalam menjatuhkan putusannya”.

Maksud yang dapat diambil dari pernyataan tersebut adalah, bahwa hakim masih menggunakan undang-undang sebagai payung hukum utama dalam memutus setiap perkara yang ditanganinya, padahal seperti kita ketahui banyak undang-undang yang sudah out of date dan membutuhkan penciptaan kaidah hukum sendiri oleh hakimnya (judge made law) agar putusan yang akan dijatuhkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat (socio justice).

Akhirnya, Bagir Manan memberikan koreksi terhadap spreekhuis van de wet atau la bouche de la loi, la bouche de droit (apa kata UU itulah hukumnya) yang membuat kesesatan nyata sehingga serlalu ditafsirkan yang mana terhadap undang-undang adalah wewenang pembentuk undang-undang dan bukan wewenang Hakim.

Katanya, “bahwa Hakim bukan mulut atau corong undang-undang, melainkan mulut atau corong keadilan.” (2005 : 10).

Oleh karena itulah mestinya, lex neminem cigit ad impossibilia (hukum tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin).

Adagium solus polpuli suprema lex esto ini yang melahirkan konsep raison d’état atau alasan negara.

Sebagai pedoman dari alasan politis murni atas tindakan pemerintah yang mendasarkan pada kepentingan nasional yang seringkali melanggar prinsip-prinsip keadilan.

Di era Machiavelli menyimpulkan bahwa di masa krisis atau darurat, instrumen yang menjadi penting bukanlah tatanan hukum dan konstitusi, tetapi keputusan pemimpin.

Akibatnya adalah kepemimpinan diktator yang lahir dari kekuasaan sangat besar dengan alasan untuk memudahkan tercapainya tujuan negara.

Keselamatan rakyat dengan parametrik dan tafsiran ideologis dari partai yang dominan berkuasa.

...dominan karena kita abai substansi sebab keinginan debat.

Maka, apa yang harus dijalankan pada suatu negara semestinya adalah, “politiae legius non leges politii adoptandae (politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya).”

Ketika Demokrasi memenangkan suara terbanyak maka Republik berteriak “kami yang minor harus kau perjuangkan untuk dilindungi dengan gelegar suaramu”.

Konon, begitulah Indonesia didirikan Republik Demokrasi itu sebetulnya antinomie.

Beranda