
Suatu Maghrib selepas rutinitas kantor, umumnya hanya makan malam dan kopi, tapi bagi kami passion dan insight bukan hal yang terlalu melelahkan, malah menjadi bagian dari anasir di setiap warung kopi dimana pergerakan dan pemikiran seringkali menanamkan embrionya, melampaui norma dan protokol formal, pertemuan ngopi yang sempat terjeda lama itulah yang bernilai, disana, teman saling mengingatkan. Ternyata, kerangka diskusi kami ini sejak Agustus 2024, tahun lalu. Kembali kami bercerita.
Pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat mestinya juga mengupayakan sinkronisasi antara KUHAP dengan KUHP, pondasi kebernegaraan, terutama aspek konstitutif, bahwa hukum harus merupakan hasil dari proses-proses yang dilandasi kehendak rakyat atau masyarakat.
Tercatat beberapa basis normatif masyarakat hukum adat, antara lain Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Pasal 10 UU Nomor 19 tahun 1948 yang dihapus tapi diganti dengan UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
Saat ini, Pasal 2, pasal 12 ayat (2) dan pasal 601 KUHP Nasional mengemukakan bahwa asas legalitas tidaklah mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat. Ditekankan juga sebagai penjelasan bahwa, “Untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana adat (delik adat), perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum pidana adat. Kompilasi ini memuat mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat yang dikualifikasi sebagai Tindak Pidana adat.”
Keberadaan Perda tidak lain hanya penegas dan kompilasi yang menetapkan delik, tidak sekali selesai melainkan upaya berkelanjutan, konsekuensinya kompilasi bersifat aktif terbuka untuk menerima apa yang harus ditetapkan dari apa yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat hukum adat.
Bahkan disebutkan, “Keadaan seperti ini tidak akan mengesampingkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas…”, artinya, KUH Pidana Nasional tidak lagi sepenuhnya berpegang pada asas legalitas, akan tetapi juga asas hukum yang hidup.
Dalam demokrasi, mayoritas berkuasa mengatur sesuai kehendaknya, tapi diruang konstitusi, kepentingan si minor harus dilindungi dari kehendak si kuat, inilah prinsip republik.
Kritik Untuk Positivisme
Teori Existential Moment yang berpedoman pada asas legalitas rumusan von Feuerbach melalui adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, menyatakan, suatu aturan baru dapat dikatakan sebagai suatu hukum bila aturan tersebut telah ditetapkan.
Berakar dari zaman Romawi, diantaranya crimen stellionatus sebagai perbuatan jahat. Crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja. [Moeljatno, 2015: 26]
Demikian juga Rene David mencatat bahwa KUHP peninggalan Hindia Belanda berasal dari keluarga/sistem hukum Kontinental yang disebut dengan istilah the Romano-Germanic Family. [Rene David, John E.C. Brierley, MajorLegal Systems in the World Today, (London, Stevens S Sons, 1978) hal. 24]
Jangan sampai kriminalisasi menjadi sarana untuk mencegah dilakukannya perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut kepentingan pembentuk UU yang akhirnya melunturkan asas triaspolitica sebagaimana terjadi di beberapa negara [https://jdih.mahkamahagung.go.id/download-file-satker/pemberdayaan-hukum-yang-hidup-dalam-masyarakat-living-law-sebagai-alternatif-penyelesaian-perkara-di-luar-pengadilan-transaction-out-of-judiciary diakses 02/04/2025, 1.05 WIB], karena ternyata Jaksa dapat memberikan sanksi.
Penegak hukum menjadi lembaga inkuisisi yang menyelidiki dan menghukum mereka yang dianggap menentang, sebagai alat accusator pemerintah untuk penuduhan, pemutakhiran era raja-raja Romawi.
Kepastian hukum oleh Gustav Radbruch dimaknai sebagai kondisi hukum yang berfungsi sebagai peraturan yang ditaati dengan parameter kejelasan norma. Seringkali bersanding dengan mahzab historis yang menempatkan kedudukan pengadilan pada keadaan pasif, dan hakim hanya corong UU, menutup ruang berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat.
Membangun asumsi, bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non-hukum, termasuk moral. Konsepsinya tentang hukum sebagai perintah (negara/penguasa) dalam bentuk UU yang mereduksi kekuatan lain membuat aturan tandingan, dikenal sebagai positivisme, sungguh paranoia.
Kritik dari Satjipto bahwa, setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. [Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, 2009:5]
Hukum untuk manusia, manusia sebagai penentu dan titik orientasi hukum yang bertugas melayani manusia bukan sebaliknya. Proses perubahan ada pada kreativitas pelaku hukum dalam menghadirkan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat, bukan peraturan dengan harga mati.
Von Savigny berpandangan bahwa hukum adalah jiwa rakyat oleh karena itu hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volksgeist harus dipandang sebagai hukum kehidupan sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat, ia harus ditemukan. [Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak, Markus Y. Hege, Teori Hukum, strategi tertib manusia lintas ruang dan generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2013, hal. 94]
Identik, Eugen Ehrlich meyakini hukum telah ada sejak masyarakat itu ada, serta lahir dari kesadaran masyarakat akan kebutuhannya, memisahkan secara tegas antara hukum positif legalistik dengan hukum yang hidup.
Pertemuan Antar Kutub Hukum
Disepakati, tidak ada peraturan yang sempurna dengan sifat statis dan rigid sebab interaksi manusia selalu berkembang, sebagaimana ungkapan hukum tertulis selalu tertinggal dari peristiwanya.
Kelemahan pembentuk UU dalam menghadirkan UU pada waktunya adalah alas bagi hakim untuk berperan dalam memaknai UU pada situasi baru, apalagi dalam hukum adat banyak aturan yang tidak tertulis sebagai norma, turun-temurun, dan dapat berubah sesuai dengan dinamika sosial dan keputusan komunitas.
Secara konseptual, sebelum ada penetapan aturan menjadi hukum positif Hukum Adat sudah lebih dulu ada, lahir, hidup, dihormati, serta berlaku. Dengan demikian, petugas penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat harus bisa mengelola integrasi hukum adat dari Masyarakat Hukum Adat kedalam sistem hukum nasional untuk mewujudkan rasa keadilan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu, untuk menemukannya harus mencarinya pada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.
Menarik diperhatikan ajaran Freirechbewegung, bahwa kodifikasi itu tidak mungkin lengkap, sebagai subordinatie maka UU bukanlah tujuan bagi hakim tetapi sekedar sarana dalam mengejawantah keadilan dengan kewenangan menyimpangi UU, selain sebagai penafsir UU juga sebagai penggubah hukum, inilah yang melahirkan hukum sebagai sistem terbuka yang dikatakan Scholten.
Sebagian ahli berpendapat, jika hukum adat dilembagakan dalam bentuk tertulis oleh kekuasaan negara maka selalu tidak realistis, tidak lengkap dan selalu tertinggal, sehingga dinyatakan bahwa bentuk hukum bukan sebatas UU, namun juga pada putusan hakim dan tindakan-tindakan yang dilakukan dan diputuskan pelaksana hukum.
Oleh karenanya, kehakiman harus menjawab kebutuhan atas institusi dengan judicative power. Kekuasaan yang bertugas menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum) dengan suatu lompatan penalaran secara logis pada suatu penilaian, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat adat diakomodasi dalam pertimbangan dan/atau putusan pengadilan.
Sebagaimana Prinsip Siracuse 1981 tentang independensi kehakiman yaitu memutuskan suatu masalah sesuai dengan fakta yang ditemukannya dan pengertiannya mengenai hukum, juga peradilan independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif terhadap semua hal yang berkaitan dengan hal-hal di bidang peradilan.
Dan, Standar New Delhi 1982 menyatakan bahwa, individu hakim harus memiliki independensi personal dengan jaminan tidak berada di bawah kendali eksekutif. Dan, independensi substantif yang menjalankan fungsi yudisialnya sebagai hakim hanya tunduk pada hukum dan hati nuraninya.
Critical Legal Studies di Inggris tahun 1984 menemukan bahwa terdapat jurang antara hukum dalam teori dengan hukum dalam kenyataan, dan kegagalan dari hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Berkembang kemudian dengan upaya rekonstruksi realitas sosial yang baru.
Relevan, Lilik Mulyadi mengatakan bahwa tujuan dari sanksi adat ini adalah untuk mengembalikan keseimbangan yang hilang dalam dunia alami dan mistis, sehingga menciptakan kembali suasana yang religius dan magis. [Lilik Mulyadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya, Laporan Penelitian, (Jakarta: Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung, 2010)]
Mengutip Nonet-Selznick, hukum progresif memiliki sifat responsif, regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan.
Sepanjang yang dikenali bahwa Hukum dalam masyarakat Adat lebih pada kepastian berhukum yang mengandung keadilan, kemanfaatan dan kemanusiaan, memastikan bahwa prosesi adat berjalan.
Landasannya adalah tentang peristiwanya, siapa pelaku, siapa korban, apa hukumnya, bagaimana menghukumnya. Disamping itu, yang dipercaya untuk membentuk hukum adalah pemangku adat, dimana tingkatan sosial ada sebagai keyakinan.
Seperti cita hukum yang dinamis, menyelami rangkaian peristiwa dimana seringkali dalam bentuk cerita, sebab tidak dikenal norma selain nilai-nilai etis yang hidup, etiket dan adab. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas legalitas, sebab hukum dalam masyarakat Adat justeru mempunyai banyak analogi dan fiksi, harapan kedepan, dimana hukumnya inheren dengan etika, tidak terpisah.
Secara sistematis tekstual, dalam konteks peradilan pidana, kelembagaan Adat harusnya ada sejak sektor hulu, pada penyelidikan dan gelar perkara yang menentukan ada/tidaknya unsur pidana. Pembentuk UU tidak boleh mengurangi kewenangan Hakim di hilir untuk menerima dan mempertimbangkan hukum diluar kompilasi.
Menemukan Lembaga Adat Dalam Peradilan Pidana

Sementara, kecewa soal rumusan pasal-pasal dalam rancangan UU yang saling bertentangan karya pakar dan intelektual, katanya, lengkap dengan catatan debat kusir dari mereka yang tidak tahu dan tidak percaya bahwa upaya tengah berjalan, merasa harus melihat hasil tertentu.
Menunggu racikan dari kebun Sidikalang di tanah Deli tempat orang Polandia menanamkan modal, disanalah juga ada dibangun konstruksi poltik etis Advokat di awal perjuangan, membuka sejarah persaingan usaha Belanda dengan Jepang, Eropa suka TipTop tapi lidah Asia memilih Jangkie, angka 1929 ataupun 1934 tidak merubah citarasa kopinya.
Ditinggalkan Deliaan, para elit onderneming sejak Perang Dunia ke-II, sehingga nuansa asimilasi kebesaran dunia seperti Cina, Belanda, Jepang, Polandia, Maryland (Inggris-Amerika), Helvetia, Paris dan Medan mulai luntur.
Dalam lema European Wijk, menyusun ide, rumus dan konsepsi di dunia hukum dengan teman yang selalu membersamai, nikmati kopi setelah berbuka sambil mendengarkan piano dari Grigory Sokolov memainkan karya Rameau, Les Cyclopes, demikian ceritanya.
Mal-Praktik Penegak Hukum
Menurut Prof Mr. Dr. L.J Van Apeldoorn sifat accusatoir acara pidana adalah prinsip dimana pendakwa dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, melakukan pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang hendak memihak.
Tersangka memberikan keterangan harus dalam keadaan bebas, tanpa tekanan, intimidasi, tanpa paksaan, dan penyidik mencatat sesuai kata-kata dari tersangka. (vide Pasal 52 KUHAP jo Pasal 117 KUHAP)
Tapi, dominasi accusatoir ini memaksa orang tunduk pada interogasi mengacu International Criminal Investigative Training Assistance Program (ICITAP), model komunikasi instrumental bertujuan. Terperiksa dikondisikan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh si pemeriksa.
Praktik pemujaan ajaran Roscoe Pound dengan konsep hukum sebagai alat rekayasa masyarakat, demi keuntungan politik, mengukur validasi kekuasaan, tersirat intensi kuat mengendalikan masyarakat.
Accusatory artinya memang fitnah atau menuduh, sedangkan inkuisisi mengadopsi lembaga penyelidik sekaligus menghukum mereka yang dianggap sesat atau bertentangan. Dua asas yang cenderung menempatkan tersangka sebagai objek.
Identik, Gramsci berkata bahwa hegemoni tidak hanya dilakukan melalui institusi negara tetapi juga dominasi wacana, mengendalikan status quo, sekaligus melemahkan wacana alternatif yang dapat mengubah tatanan sosial.
Maknanya, tersangka baru dianggap setara jika ada penasehat hukum, maka penting agar diberikan kesempatan bagi seseorang untuk dapat didampingi penasehat hukum sejak adanya aduan/laporan, sebab berdasarkan asas inilah tuduhan boleh ditimpakan.
Memaknai Advokat
Advokat dan Kantornya ialah wilayah private dimana para profesional bekerja, bukan tempat natuurlijk persoon, jadi sebelum beberapa prosedur pendahuluan (etik) dijalankan maka profesus terhalang dari adressat norm (tujuan norma) sebagai subjek hukum pidana umum dan/atau khusus.
Jika memang diperlukan maka semestinya antara APH dengan Advokat membuat semacam Berita Acara Pemberian Keterangan bersifat sans prejudice yang tidak bisa digunakan untuk kepentingan pembuktian, keterangan yang diberikan karena sistem, hati nurani dan demi kepentingan keadilan dan peradilan.
Ketika diangkat menjadi advokat, maka dilekati suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat dengan hak eksklusif, menyatakan pada publik bahwa ia seorang advokat yang berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, hingga menghadap di muka sidang pengadilan.
Keistimewaan ini menimbulkan kewajiban kepada masyarakat, untuk mempunyai kompetensi pengetahuan di atas rata-rata, dan mempunyai integritas, yang oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they know that certain of their brethren are quilty).
Bahkan juga menyempurnakan hukum dan penyelenggaraan sistem peradilan yang mendukung kewenangan pengadilan dan menjaga kewibawaan sidang, sehingga harus patuh pada aturan-aturan sopan santun.
Permusuhan tidak boleh mempengaruhi para advokat, sebagaimana postulat, “Do as adversaries do in law: strive mightily, but eat and drink as friends”.
Tidak sederhana berbicara dalam konteks dokumen Internasional Universal Declaration of Human Rights 1948 dan International Convenant On Civil and Political Rights 1966 sebab menjadi hambar oleh International Criminal Investigative Training Assistance Program (ICITAP).
Rasio APH ialah Pasal 115 ayat (1) KUHAP, Advokat itu pasif, dan tidak boleh aktif, yang bisa diusir jika tidak kooperatif. Mungkin penasehat hukum memang dihormati atau malah hanya dianggap formalitas ketika melengkapi tersangka, dua objek remeh ketika terpisah.
Cara bertindak dalam menangani perkara yang selalu berkelindan dengan sejawat penegak hukum memang seringkali berhubungan dengan catatan hukum antar penegak, dengan sifat-sifat, yaitu Sans Prejudice dan Add Informandum.
Prinsip saling menghargai dan menghormati dalam menjaga rahasia harus dijalankan, apalagi Advokat tidak boleh diidentikkan dengan klien dan bukan alter-ego kliennya.
Mengenal Kembali Hukum
Kepahaman dan ketepatan penempatan antara kata UU dengan hukum berimplikasi sangat luas. Artinya, APH baru dapat menerapkan rigiditasnya di muka penghukum, yaitu hakim. Karena itulah maka disebut Penegak Hukum, bukan penegak UU.
Sekedar menjalankan perintah UU sebelum memasuki pengadilan. Ini harusnya mengilhami sikap-perilaku penegak hukum ketika berhadapan dengan orang yang diduga telah melanggar norma pidana.
Harus menghormati HAM, bahkan secara implisit harus tetap mempunyai keraguan atas kebersalahan orang yang didakwa hingga saat hukum ditegakkan, yaitu setelah putusan dijatuhkan.
Hakimlah yang membentuk hukum dengan mendudukan antara norma yang didakwakan, pembuktian dan keadaan-keadaan yang melingkupi peristiwa hukum. Ketiga hal ini akan saling berhadapan untuk diuji dimuka persidangan.
Satjipto Rahardjo mengatakan, “Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi”.” [FX. Adji Samekto, Justice Not For All “Kritik Terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis”, (Yogyakarta: Genta Press, 2008) Hlm. 72]
Masalah memprihatinkan terkait diferensiasi fungsional adalah APH hampir tidak pernah menjalankan fungsi, peran dan kewenangan yang sebenarnya, selain kewenangan diskresional, menilai dan menafsir sesuai paradigma institusi, inilah masalah utamanya.
Putusan Pengadilan Adalah Hukum Yang Menguji UU Dengan Nilai
Norma UU itu akan terbentuk sebagai hukum yang harus dijalankan setelah melalui proses persidangan, pertimbanganlah alasnya, bukan dakwaan, berita acara maupun pembuktian sebenarnya didudukan sebagai perspektif untuk meyakinkan Hakim.
Jika tidak, maka praktik selama lebih dari 70 tahun tidak berubah, orang sudah disangka sebagai pelaku sejak dilaporkan/diadukan, divonis sebagai pesakitan sejak ditetapkan sebagai tersangka, dan sejak persidangan dianggap sebagai penyakit, putusan pengadilan hanyalah kesimpulan formal yang melegitimasi, totalitarian juristocrative fallacy.
Renungkan kembali atas pernyataan Holmes yang menyatakan, bahwa para juris tidak seharusnya puas dengan bentuk-bentuk dangkal dari kata-kata, semata-mata hanya karena kata-kata bersangkutan telah sangat sering digunakan dan telah diulang-ulang. [Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) Hlm. 50]
Kelahiran hukum adalah untuk menjaga hidup manusia, karena itulah jika ada masalah dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.
Konsep judge made law atau penemuan hukum (rechtsvinding) diserap oleh UU Nomor 48 tahun 2009 yang dalam Pasal 10 ayat (1) menyebut bahwa, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Mengisyaratkan kepada hakim untuk berperan dalam menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum. [Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1986) Hlm. 7]
Apalagi menurut Bagir Manan, rumusan UU yang bersifat umum tidak pernah menampung secara pasti setiap peristiwa hukum. [Bagir Manan, Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005) Hlm. 209]
Putusan yang ideal ialah putusan yang memuat idee des recht (cita hukum), yang meliputi tiga unsur yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. [Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1990) Hlm. 15]
Advokat Sebagai Fungsionaris Kekuasaan Kehakiman
Satjipto menolak pandangan dimana manusia boleh dimarjinalkan asalkan hukum tetap tegak, justru hukumlah yang boleh dimarjinalkan untuk mendukung proses eksistensionalitas kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan. [Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Menggagas Hukum Progresif Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) Hlm. 5]
Menurut open system van het recht dan freirechtslehre, UU yang dibentuk oleh kekuasaan negara selalu tidak realistis, tidak lengkap dan selalu tertinggal, sehingga dinyatakan bahwa bentuk hukum bukan sebatas UU, namun pada putusan hakim dan tindakan-tindakan yang dilakukan dan diputuskan oleh pelaksana hukum.
Secara implisit istilah ‘penemuan hukum’ menunjukkan adanya entitas hukum yang telah berlaku dalam masyarakat, tetapi belum diketahui sehingga diperlukan usaha untuk mendapatkannya, bersesuaian dengan doktrin ibi societas ibi ius (Cicero), dimana terdapat masyarakat berlakulah hukum tertentu di dalamnya. [N.E. Algra dan K. Van Duyvendijk, Pengantar Ilmu Hukum, penerjemah: J.C.T. Simorangkir, (Jakarta: Binacipta, 1991) Hlm. 324]
Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman menjadi dasar bahwa hakim dapat menjadi perumus dan penggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga harus terjun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan menyelami kehidupan masyarakat, sehingga hakim dapat mengesampingkan UU dalam menjatuhkan putusan demi nilai-nilai yang hidup.
Embrio fungsi kekuasaan kehakiman yang muncul dari tengah-tengah masyarakat hanya terekam dalam satu figur orang bebas yang membebaskan (opera liberlis), yaitu Advokat yang lepas dari konflik kepentingan kekuasaan dan seragam penguasa, yang memiliki integritas officium nobilium yang bukan hanya sekedar corong UU (la bouche de la loi), dia yang expose the rule to build law (menelanjangi aturan untuk membangun hukum) sebab mengemban hukum (rechtsbeoefening).
Mustahil bukti manusia dapat lebih terang ketimbang cahaya dari Tuhan, oleh karena itulah dibutuhkan Advokat untuk membawakan lentera agar suatu perkara mendapatkan penerangan untuk dilihat dengan lebih seksama ketimbang dalam gelap.
Menurut Hans Julius Wolff [Roman Law, A Historical Introduction, 1978:97], di jaman Cicero, Advokat memberikan Responsa (pendapat hukum Juristconsults), yang meletakkan ide mereka untuk memberi efek keyakinan.
Dan, asas mendasar yang dipanggul Advokat di atas punggungnya dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system) adalah presumption of innocence dan asas equality before the law.
Tentang menjaga hak orang yang berhadapan dengan hukum pidana untuk tidak dianggap bersalah sebelum putusan berkekuatan hukum tetap, juga soal hak orang untuk ditempatkan dengan setara, diperlakukan sama baiknya dan akses hukum yang sama, yang menimbulkan kewajiban bagi APH untuk melayani hal-hal tersebut tanpa alasan apapun.
Prinsip Kehormatan Untuk Advokat

Suatu sore di hari ke-14 bulan Maret pada 2025, kami membahas hal-hal yang berkaitan dengan dunia hukum, terutama Advokat, rencana strategi, berusaha jangan sampai ada remah yang terlewat, disini, penulis makin meresapi bahwa Advokat tidak membicarakan hal remeh, parsial dan egois.
Ah, awal yang sombong, singkat saja ke waktu adzan Maghrib penanda waktu berbuka berkumandang, terdengar ke dalam ruang yang rapat, suara yang ditunggu sejak pagi, tidak bisa dipungkiri, untuk awam seperti penulis berpuasa lebih pada menahan lapar dan haus, takjil disediakan, kolak, gegorengan dan tentu saja air mineral.
Rupanya, tidak sampai disitu, sebab kami masih butuh menu khas ahli hisap, adalah kopi, rokok dan diskusi lepas dengan topik berat yang terasa ringan, meski panjang, itulah kekuatan kopi. Rasanya, tidak bisa berpanjang-lebar lagi membuka topik, baiklah.
Bahwa, Hukum Acara Pidana dianggap dapat memberi perlindungan kepada hak asasi manusia seimbang dengan kepentingan umum. Ketika menyimak sebuah prinsip, asas dan kaidah kemudian menyatakan bahwa itu cuma teori, bermasalah ketika diterapkan.
Mereka yang berperilaku seadanya seperti pokrol yang membunuh karakter Advokat, memukul rata apa yang bahkan tidak atau belum pernah dijalankan hanya sebagai teori dan tunduk pada kebiasaan – budaya bawah meja dan pasrah tapi menikmati peradaban ngawur, ambil untung dari masalah orang – namun ketika kita paham bahwa ternyata hal-hal itu adalah alas dari penerapan hukum maka kita sedang berbicara juga tentang konsekuensi hukum, sanksi, inilah yang melahirkan implikasi jika tidak dijalankan, dengan basis etik, kemapanan berhukum dan HAM.
Tidak bisa membedakan antara teori dengan asas, prinsip dan kaidah, banyak yang disimpangi, budaya bawah meja jadi darah daging praksis, pelanggaran tidak terkendali dan celah praktek subordinasi makin menganga, sehingga opresi makin aktif dan massive terhadap masyarakat, serta kehormatan Advokat mudah diruntuhkan.
Komisi XIII, hakikatnya merupakan transformasi dari Badan legislasi (Baleg) dengan penyesuaian dari pemecahan kementerian, dalam konteks ini yang mempunyai tugas antara lain menyusun rancangan program legislasi nasional, menyiapkan dan menyusun RUU usul Badan Legislasi dan/atau anggota Badan Legislasi berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan, melakukan harmonisasi konsep RUU yang diajukan anggota, komisi, atau gabungan komisi sebelum disampaikan ke pimpinan DPR, membahas dan mengubah RUU, memantau dan meninjau undang-undang dan mengevaluasi pembahasan materi muatan RUU melalui koordinasi dengan komisi atau pansus.
Secara kontekstual, ada titik singgung antara Komisi III dengan Komisi XIII, namun secara substantif keduanya mempunyai fokus yang berbeda, yang pertama subjeknya adalah penegak hukum secara institusional/kelembagaan, sedangkan yang kedua objektif berbicara dalam lingkup penerapan hukum secara substansiil berkaitan dengan HAM.
Tentang regulasi utuh dengan kelindan hak asasi manusia yang kompleks, termasuk juga putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, berbicara sistem yang dibangun dalam rumusan HAP atas due process of law, embrio dari integrasi para fungsionaris kekuasaan kehakiman, seperti omnibus sehingga tidak boleh sektoral.
Disamping itu, ada Badan Aspirasi yang juga erat terkait dengan hal-hal tersebut diatas, yaitu menyampaikan hasil penelaahan kepada Alat Kelengkapan Dewan terkait untuk ditindaklanjuti, melakukan monitoring terhadap tindak lanjut oleh Alat Kelengkapan Dewan, dan menerima aspirasi masyarakat dalam melaksanakan meaningful participation pada setiap tahapan pembahasan RUU.
DPR-RI sendiri menyatakan bahwa berdasar hasil kajian berbagai organisasi masyarakat sipil, KUHAP sebagai rujukan utama dalam menjalankan proses peradilan pidana di Indonesia menjadi penting sebab KUHP Nasional akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
Ketua Komisi III, Habiburokhman, pada hari Senin, tanggal 2 Desember 2024, menyatakan akan menyoroti perlunya langkah revolusioner dalam reformasi sistem hukum pidana Indonesia. Salah satu fokusnya adalah agar lembaga praperadilan dapat berperan lebih aktif dalam menjamin keadilan, masalah ketidakpuasan masyarakat.
Poin penting lainnya adalah penguatan perlindungan hak-hak tersangka, penegasan aturan terkait akses tersangka terhadap penasihat hukum, serta perlunya protokol jelas untuk meminimalkan risiko kekerasan dalam proses hukum. Intinya, menurut Komisi III sendiri bahwa RUU KUHAP berupaya menghadirkan sistem hukum yang lebih berpihak kepada masyarakat.
Ketika membahas Hukum Acara Pidana maka kita sedang berbicara tentang sistem dan penerapan, tidak hanya penegakan, ketiganya inheren. Tentunya ada persinggungan antara kedua Komisi dengan substansi Hukum Acara Pidana maka mestinya Panitia Khusus (Pansus) dapat dibentuk sebagai jembatan penghubung, sebab, pasti ada hal-hal tertentu yang tidak cukup dibahas dalam panitia kerja (panja), komisi, atau badan tertentu.
Apalagi, basis pijakan HAP adalah prinsip peradilan yang adil (fair trial), HAP harus dibentuk agar para unsur penegak hukum yang terkait di dalamnya jangan sampai melakukan paksaan kekuasaan (abuse of power), maka, bagaimana mungkin substansi Acara Pidana yang pasti menyentuh HAM dibidani oleh Komisi III?
Jika berargumen bahwa permasalahan HAP dapat dibawa ke Mahkamah Konstitusi, maka DPR-RI sebagai pembentuk UU berpotensi mengabaikan tanggungjawab, inkonsisten dengan inisiatifnya sendiri – terhadap materinya, bukan soal pekerjaannya – dengan kata lain, logika politik itu mengatakan bahwa masalah masyarakat sendiri yang sudah difasilitasi dengan MK, tidak fair dan memperpanjang masalah.
Bukankah lebih baik berpanjang waktu ketimbang masalah? Dan, bukankah Parlemen ini tempat dimana rakyat meletakkan kepercayaannya? Lalu, kenapa hendak mencuci tangan dan melempar tanggungjawab?
Sungguh, politik hegemoni yang tidak elok lagi cantik, terlalu mudah dibaca tapi tetap sembunyi dalam kuasa dan kewenangan seolah kita masih membaca, padahal sudah tuntas.
Sementara, dalam Rapat Paripurna ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025, hari Selasa, tanggal 18 Februari 2025, DPR-RI menyetujui RUU KUHAP menjadi usul inisiatif DPR, sebagai langkah penting agar regulasi yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, modern dan berkeadilan, memastikan proses peradilan pidana berjalan lebih transparan, efisien, dan sesuai dengan prinsip keadilan.
Bahkan, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai implementasi hukum acara pidana saat ini sudah berada dalam batas mengkhawatirkan, terkait banyaknya pelanggaran hukum acara yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia, maka KUHAP harus berpegang teguh pada prinsip due process of law, mekanisme checks and balances, penghormatan pada hak asasi manusia, membentuk mekanisme uji upaya paksa dan mekanisme keberatan atas tindakan penegakan hukum yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Penulis mengutip pendapat Romli Atmasasmita [2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 60] yang dikutip pula oleh Prof. Eddy Hiariej mengenai alas pertimbangan disusunnya KUHAP, singkatnya, penulis kutip agar tulisan ini relevan dan konsisten, yaitu perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa), perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan, dan mewujudkan Hukum Acara Pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Bahkan, Pedoman Pelaksanaan KUHAP merumuskan tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkannya secara jujur dan tepat, untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. [Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, Modul 1 Pengantar Hukum Acara Pidana, hlm. 1.10-1.11]
Tepat dan beralasan, setiap warga negara yang berurusan dengan hukum dapat melakukan gugatan terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum sepanjang gugatan tersebut secara expresiv verbis tertuang dalam undang-undang. [Eddy, O.S Hiariej, 2008, Asas-Asas Dalam Hukum Acara Pidana, disampaikan dalam diskusi terbatas Eksaminasi Putusan Pra-Peradilan atas Gugatan Pra-peradilan PT Inti Indosawit Subur Terhadap Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia, FH-UGM, Selasa, tanggal 22 Juli 2008, Yogyakarta, hlm. 3]
Muladi mengatakan bahwa makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam sinkronisasi kultural (cultural syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. [Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, hlm. 1-2]
Konsekuensi yang tidak hanya logis, melainkan juga menjadi syarat dari negara hukum dengan rule of law bersendi pada pengakuan dan perlindungan HAM, legalitas dari tindakan negara/pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan yang bebas, syarat mendasar dari terpenuhinya parameter negara yang merawat HAM.
Dapat dikatakan bahwa ide dasar HAP ialah asas praduga tidak bersalah sebagai bentuk perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang fundamental. Sebagaimana juga termaktub dalam dokumen internasional Pasal 11 ayat (1) dari Universal Declaration of Human Rights 1948 yang menyatakan, “Setiap orang yang disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka dan yang memberikan jaminan bagi pembelaannya.” (terj.)
Demikian juga Pasal 14 ayat (2) International Convenant On Civil and Political Rights 1966 yang menyatakan, “Setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum.” (terj.)
Sebuah sistem peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa, atau terpidana sebagai manusia. Maka, perumusan HAM dalam RUU KUHAP secara substansial adalah spesifik ranah dari Komisi XIII DPR-RI.
Ranah Substansial Komisi XIII DPR-RI Atas Perumusan HAM Dalam Rancangan Hukum Acara Pidana
Langganan:
Postingan
(
Atom
)