Saat ini, politik sedang mengajukan topik perdebatan tentang perilaku etik, padahal banyak dalam politik dan science masalah etika selalu lapuk oleh kepentingan, negara menjadi objek penderita dengan asupan ideologi melalui metode yang tidak jelas sehingga menjadi anomali di tubuh rakyat.
Dengan kata lain, logika sistem kepartaian di Indonesia turut menjadi faktor besarnya kekuasaan legislasi yang dimiliki oleh rumpun eksekutif, dan sebaliknya kendali kepentingan atas peran legislatif.
Kongres Advokat Indonesia sempat menyelesaikan masalah etik bersama Mahkamah Konstitusi, dan ia prinsipnya akan selesai hanya berdasarkan saling pengertian.
Kita tidak sedang mencari jalan tengah melainkan ingin mengetahui pendirian negarawan untuk menyelesaikan anomali demokrasi dalam kerangka republik, sebagai hukum.
Bagaimana pendapat para ahli, Stepen & Skach, Levistsky & Ziblatt penulis tolak sebab pendapat Khelda Ayunita, Martitah, Mahfud dan Jimly penulis acu dalam catatan ini lebih realistis.
Dalam perkembangannya lahir pengalihan issue atau boleh dikatakan pelimpahan tangung-jawab keputusan politik ke ranah Yudikatif dimana sengketa pemilu dibebankan kepada pengadilan.
Dalam konteks kekuatan politik maka pengadilan merupakan cabang kekuasaan terlemah sehingga tentunya harus membatasi diri dari perkara-perkara yang bersifat politis
Hans Kelsen, Hirschl, Hammilton dan Jonghyun Park intinya mengatakan bahwa fenomena judicialization of politics dapat menghancurkan nilai-nilai negara hukum (rule of law).
Dari pemikiran Chief Justice Wells, kali ini penulis sebagai manusia hukum dengan profesi Advokat membuat amicus curiae terbuka untuk Mahkamah Konstitusi sebagai anti-tesa dari Amicus Curiae lainnya.
Urusan politik itu masalah main-main oleh karena itu jangan dibawa ke ranah hukum, apalagi pengadilan, demi kesehatan dan edukasi masyarakat.
Akar dari konsep independensi kekuasaan kehakiman adalah doktrin pemisahan atau pembagian kekuasaan dari Aristoteles yang dilengkapi kemudian oleh Monstesquieu, yang menjadi conditio sine quanon sebagai jaminan kebebasan dan tameng kendali dari gilasan roda pemerintahan negara.
Mengutip pendapat I Dewa Gede Palguna sepanjang yang bersesuaian dengan konteks tulisan ini mengenai penafsiran non-originalism dan terafirmasi oleh Justice Brennan.
Berbicara soal landmark decisions atas keselamatan demokrasi, Tata Negara kita pernah menerapkan beberapa jenis antara lain demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila.
Demokrasi apa yang dimaksud yang diklaim telah rusak oleh perilaku politik pemenang pemilu kali ini atau subjek lain?
Bagaimana Demokrasi Orwellian menjadi varian faktor jebakan fasisme?
Perjuangan Politik Demokrasi Ataukah Hukum Yang Mabuk Pesta Demokrasi?
Trilogi: Amicus Curiae PHPU 2024, Negarawan Dan Batin Rakyat
Menegangkan sekali rasanya negara ini, hampir tidak ada cara membahas polemik hukum yang notabenenya akan menjadi acuan politik hukum, tafsiran dan implementasi kehidupan sehari-hari yang menyejukkan.
Cenderung terjadi false dilemma dan causes, dimana sepertinya ada dua pilihan yang mematikan argumen secara tidak fair, atau sebaliknya saling berkaitan atau mempunyai sebab akibat, padahal dalam alam pikir relatif boleh ada kesesatan seperti ad ignorantum yang menganggap suatu hal sama dengan yang lainnya sehingga berpotensi menimbulkan konflik.
Mengutip pendapat Edmund Burke bahwa Pengadilan menempatkan diri sebagai political holder, pendapat ini diafirmasi oleh Hirschl bahwa kewenangan untuk mengadili kontroversi-kontroversi politik tersebut telah mengubah pengadilan menjadi sebuah institusi politik, apalagi Hukum Tata Negara adalah bentuk lain dari politik
Menurut Feeley dan Rubin yang mana judisialisasi pada dasarnya adalah lembaga peradilan yang memainkan peran untuk membuat kebijakan, dan tegas Owen Fiss bahwa lembaga peradilan memiliki peran dan fungsi yang sama dengan cabang kekuasaan lainnya dalam menentukan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
LINGKARAN KONSEKUENSI
Jika menjadi open legal policy dan hanya jika diserahkan kepada pembentuk UU maka kita punya preseden buruk terhadap perkembangan perilaku para pejabat yang (mungkin) secara major lebih menempatkan diri sebagai petugas partai yang tidak mutlak taat peraturan perundang-undangan melainkan taat pimpinannya.
Dramatik sekali, nuansa schijnhandeling, sebuah permainan dengan tujuan lain yang tertentu, politik hukum yang seringkali jadi senjata politik praktis, bisa apa masyarakat yang notabenenya adalah anggota (grass root) partai meski sebagian kecil tapi kita tahu sangat militan?
Sederhananya, bahwa Hakim MK diangkat oleh Presiden yang disebut petugas partai, Wakil Rakyat ditunjuk oleh partai, Hakim MK sebagai wakil dari DPR, betapa alur sirkuler ini sangat blunder. Perlu diingat bahwa DPR dan Presiden adalah sama-sama pembentuk UU.
Disinilah kepentingan Aksi Judisial, menahan diri atau memutuskan dengan baik beserta segala konsekuensinya.
Tanggapan logis juga berasal dari failosof Soren Kierkegaard bahwa dalam causalitas adequate mestinya lex neminem cigit ad impossibilia (hukum tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin), jangan ada konstelasi drama yang membuat semua ruang menjadi rumah politik.
Bagaimanapun adanya concurring dan dessenting namun terdapat 2 Hakim memutus, 2 memutus namun dengan alasan berbeda dan 4 orang Hakim menyatakan pendapat berbeda. Artinya 4:4 dalam posisi yang sama, oleh karena itu dibutuhkan 1 pengambil keputusan atau sebagai penentuan, ini linear dengan Pasal 45 ayat (8) UU MK berkaitan dengan suara terakhir.
Rasanya, terlalu mudah jika mengarahkan putusan MK ini kontroversial lalu simpulnya dikaitkan dengan kedinastian atau rezim 3 periode dan seterusnya, politik tidak sebercanda itu. Masih ada lain yang lebih beruntung dan sedikit diluar dugaan.
Berkaitan dengan politik hukum kepemerintahan (eksekutif), ini bukan lagi otokratik legism tapi jelas juristokrasi totalitarian. Sehingga, oknum penegak hukum dalam banyak celah kesempatan membusungkan dada sebagai alat perekayasa hukum atas suatu aktivitas sosial-etik yang wajar.
Ketimbang Montesquieu, rasanya Trias Politica yang diterapkan Indonesia lebih kepada John Locke, tendensi Perancis kuno dengan paradigma Judisialisasi Politik yang kental Judicial Activism, yudikatif sebagai anak tiri eksekutif, sebagai gantinya adalah federatif, urusan luar negeri.
RUMUSAN POLEMIK
“Tindakan kuasa hukum pemohon mencerminkan ketidakprofesionalan sebagai kuasa hukum karena tanpa melakukan koordinasi dengan pemohon kuasa hukum pemohon melakukan penarikan permohonannya,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Menurut Wahiduddin Adams, Mahkamah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai ”legislating or governing from the bench” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient reason).
Hal lainnya, Saldi Isra mempertanyakan fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari menolak menjadi mengabulkan. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?
Sekedar mencoba menjawab dissenting opinion tersebut maka menurut penulis diantara sekian permohonan uji materi batas usia tersebut harus tetap diambil reasoning yang tepat untuk dikabulkan dari permohonan yang punya logika hukum baik, meski tidak dari pakar atau kompetensi, sebab akan lebih mengkhawatirkan jika dengan penolakan maka tak ada pembatasan konstitusional lalu dibiarkan bergulir dalam mekanisme politik praktis.
Betapa bahayanya judisialisasi politik, mindset vigilante maupun witch-hunt di masyarakat terasa makin kental, mengakar di kehidupan sehari-hari sampai pada perang netizen, hanya menunggu manajemen politik praktis saja untuk menjadi alat.
Berapa banyak produk peraturan perundang-undangan yang tak harmonis? Berapa banyak putusan Mahkamah yang tidak ditaati dengan pembangkangan? Berapa sering pribadi Presiden disindir oleh pemimpin lainnya? Maka pengawal konstitusi mesti bersikap dalam menanggapi jiwa masyarakat yang akan disentuh oleh produk politik dan bisa jadi opresi.
Jika ada yang masih berpikir bahwa frase tambahan dari MK terhadap suatu peraturan perundang-undangan agar tetap konstitusional dengan tetap harus dilakukan perubahan melalui lembaga legislatif dan selama belum dirubah melalui lembaga yg berwenang (legislatif) maka putusan belum dapat dijalankan maka ini adalah pandangan yang cenderung keliru, sebab bukankah legislatif sudah menempatkan pilihannya di MK sebagaimana dilakukan dengan alasan keterwakilannya?
Padahal, jika benar-benar ingin bersepakat dan menganggap bahwa putusan tersebut tidak tepat maka jangan gunakan celah putusannya untuk dipolitisir, sesimpel itu.
KEPENTINGAN PENGUATAN YUDIKATIF
Sementara pihak Yudikatif harus menata diri dengan mulai bertaransformasi sebagai institusi politik untuk menghadapi gempuran judisialisasi politik yang berupaya mencari pembenaran dan penguatan melalui putusan-putusan pengadilan agar perilaku absolutismenya mendapatkan legalitas, sungguh sesuatu yang kritis jika absolutisme menemukan hegemoninya, berubah menjadi totalitarian.
Disini, dituntut juga peran Komisi Yudisial menyangkut lembaga-lembaga yang erat terkait dengan ketatanegaraan sebagai bentuk lain dari politik, khususnya dalam wilayah hukum, forum ini seperti mendudukkan peran dan fungsi antar negarawan, Hakim, Advokat dan Komisi Yudisial. Sebuah forum yang langka atas ranah Yudikatif.
Penulis merujuk dan sepakat dengan pendapat Profesor senior di Van Vollenhoven Institute, Jan Michiel Otto yang mengingatkan bahwa sudut pandang dari Advokat akan menjadi semakin penting.
Jauh sebelumnya Cicero mengatakan Advokat adalah juristconsults juga duduk di “consilium” sekaligus sebagai “praetor” dan "magistrates" pelaksana hukum, lebih jauh membangun hukum dan penasihat pemerintah.
Tidak kurang dari Bagir Manan, Mr. SM Amin dan Abdurrahman mengatakan bahwa Advokat mengawasi dan mengawal integritas peradilan, membantu hakim mencari kebenaran. Hal lainnya Arif Sidharta bahwa Advokat adalah pengemban hukum (rechtsbeoefening), sebuah perspektif yang terabaikan.
Sepertinya juga dapat menjadi distraksi, tentang mereka yang berada di posisi Pemerintahan dengan segala kewenangan tafsiran hukum institusional yang berguna untuk tujuan kepemerintahan akan diminta dan cenderung dipenuhi sebab kepentingan Pemerintah, lalu melakukan propaganda dengan slogan-slogan ahistoris memanfaatkan kegaduhan seperti ini.
Dalam literasi yang relevan penulis mengutip Satjipto Rahardjo yang pernah menerangkan bahwa terdapat putusan-putusan yang berbobot politik, yaitu politik kenegarawanan. Yang perlu digarisbawahi dari harapan ini adalah politik kenegarawanan (judicial statementship).
Bahkan secara disiplin doktrinal diafirmasi oleh Hans Kelsen yang mengatakan bahwa organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function).
ISLAH YUDIKATIF
Penulis melihat, ada kedekatan cerita seperti sejarah yang berulang dan dirangkum dalam satu waktu. Penulis mengenali Anwar Usman sebagai pengagum Abu Bakar ash-Shiddiq, dengan romansa seperti Hatta dan Rachmi yang ditengahi Soekarno.
Tapi sejarah tidak pernah berulang tanpa sebab, penulis lebih memilih untuk mempercayai bahwa sejarah berulang dan terangkum kembali sebab harus diselesaikan dengan cara yang lebih baik dari sebelumnya.
Penulis memandang bahwa beliau seperti melakukan tradisi Sati, masuk kedalam api suci untuk membuktikan sebagai pasangan yang setia bagi hukum, mengorbankan diri agar banyak masalah yang dapat terselesaikan.
Beliau mestilah mengenal kisah Khaitsamah, apalagi tentang jihad Abu Bakar.
Dimana dalam satu kesempatan beliau mengatakan, “Abu Bakar Shiddiq ketika ditunjuk sebagai pemimpin beliau mengatakan aku telah terpilih di antara kalian dan aku bukan orang terbaik di antara kalian. Andai kata benar ikuti aku, andai kata aku salah ingatkanlah aku.” Tidak ada keraguan bagi penulis bahwa Anwar Usman berlaku setia terhadap hukum.
Disini, para pelaksana Yudikatif dituntut untuk dapat saling mengingatkan sebagai kutipan Abu Bakar diatas, tapi dimana para negarawan ini dapat saling mengingatkan? Yaitu dalam forum khusus yang diselenggarakan untuk itu melalui Komisi Yudisial.
Kenapa menyinggung profesi Advokat? Sebab berkaitan pula dengan permasalahan etik yang ada di ranah Advokat berhadapan dengan MK, dan para pelaksana Yudikatif ini dapat bertemu melalui Peraturan KY Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi jo. Keputusan Bersama Ketua MARI Dan Ketua KYRI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim jo. Pasal 295 dan Pasal 296 KUH Perdata.
Melakukan islah untuk saling memperbaiki, mendamaikan, dan menghilangkan sengketa atau kerusakan, apalagi keduanya dibenturkan dengan mindset umum yang sama yaitu etik, untuk meruntuhkan arogansi slogan dan propaganda yang secara doktrinal sedang bergulir dari embrio totalitarian, sadar atau tidak.
Jika, dan hanya jika benar jadi kenyataan... maka kedepan kehormatan intuisi Yudikatif bakal dikangkangi oleh nalar hukum dari kepentingan Eksekutif, embrio totalitarian akan dijelang dengan kelahiran ide federatif ini.
Apakah kemudian penulis malah melempar kepada KY? Tidak, itu justifikasi sesat, ini forum para negarawan juga, di ranah Yudikatif yang harus terlepas dari segala intervensi, intrusi dan penetrasi pihak manapun apalagi politik praktis.
Politik hukum yang dilakukan secara terbuka sebagai cara yang anggun dan jujur. Meski terkesan melankoli atau malah sentimentil alias cengeng, tapi hanya berupa harapan, seandainya.
Tapi bagaimanapun juga harus diakui bahwa kepemimpinan Mahkamah Konstitusi yang menurut penulis terbaik adalah pada masa kepemimpinan Mahfud MD, dan semoga Mahkamah Konstitusi tetap idependen, diluar kendali politik apalagi Eksekutif.
Api Romantisme Politik Hukum MK 90/PUU-XXI/2023
Yudikatif harus menata diri dengan mulai bertransformasi sebagai institusi politik mengimbangi judisialisasi politik yang mencari pembenaran melalui putusan-putusan pengadilan agar perilaku absolutismenya mendapatkan legalitas, hegemoni menuju totalitarian.
Hirschl mengemukakan alasan penggunaan proses litigasi oleh aktor-aktor politik sebagai pengalihan penentuan masalah-masalah politik yang kontroversial kepada pengadilan secara sengaja, kemudian menyebutnya sebagai “manuver hegemoni”. [2008, hlm. 1]
Menurut Satjipto Rahardjo, pengadilan ibarat “panggung”. Proses yang berlangsung dalam peradilan menjadi semacam adegan permainan yang telah diatur tata cara permainannya. Para pemainnya tidak lain adalah merupakan para penegak hukum, yakni Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat, kemudian terdakwa, saksi-saksi dan juga pemain pembantu seperti panitera dan polisi, tidak luput juga para hadirin yang mengikuti jalannya sidang. [Bagir Manan, 2009, hlm. 118-119]
Satu-satunya senior ahli yang tidak memposisikan Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) adalah Barda Nawawi Arief, menurut beliau implementasi 4 (empat) sub-sistem kekuasaan adalah kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili/menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana. [Barda Nawawi Arief dan Muladi, 1984, hlm. 15]
Ternyata ini yang berkembang di ranah yudikatif melalui intrusi politik hukum eksekutif dan legislatif yang sementara ini seolah masih sebagai perpanjangan tangan dari partai politik pemegang kendali, berusaha mengamputasi organ yang diduga asing, Advokat.
Penegak Hukum Adalah Exclave Yudikatif
Merujuk peraturan perundang-undangan, rekan penegak hukum berada di posisi Pemerintah dimana segala kewenangan hukum yang berguna untuk tujuan kepemerintahan akan diminta dan cenderung dipenuhi sebab kepentingan Pemerintah.
Misal, diskresi menghentikan perkara di tahap penyidikan dan pemanggilan dapat saja bermutasi menjadi politik hukum dominus litis, sah-sah saja jika berkaitan dengan kurangnya bukti atau kelengkapan perkara tetapi tidak sebagai penentu ranah hukumnya yang menjadi kewenangan Hakim.
Diskresi tersebut juga diikuti kewenangan untuk berkoordinasi dengan pihak lain, tidak boleh menutup mata terhadap peran Advokat yang eksplisit diberikan fungsi kekuasaan kehakiman, jika tidak maka ia tidak menggunakan kewenangannya untuk berkoordinasi.
Baiklah, jika Kejaksaan disebut sebagai pengendali perkara namun perlu diingat bahwa MA memberikan ruang bagi Advokat sebagai “penyelenggara peradilan” dalam pembahasan RUU Advokat 2002 hingga dikutip dalam konsideransnya.
Makna “bertindak menurut penilaiannya” harus dibatasi pada tindakan jaksa sebagai quasi pengawas penyidikan, bukan menentukan ranah hukumnya sehingga terkesan menumpangi kewenangan kehakiman meskipun alasannya untuk mengurangi beban pengadilan.
Penjelasan Pasal 35 ayat (1) Huruf c UU No. 11/2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia secara eksplisit menyatakan bahwa Jaksa Agung memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960 menggeser paradigma Hukum Pidana menjadi “Kejaksaan pada Pengadilan, dan tidak lagi sekedar alat pelaksana kekuasaan pemerintah di bidang peradilan, melainkan juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri”, ini menjadi titik singgung dari conflict of interest.
Artinya, kejaksaan juga tidak bisa memposisikan diri sebagai solicitor atau barrister dari masyarakat umum, selain khusus bagi pemerintah saja, pun tidak memonopoli tugas kenegaraan Advokat.
Demikian juga UU No. 2/2002 Tentang Kepolisian Negara RI Pasal 14 Ayat (1) huruf j beserta penjelasannya disebutkan dalam melaksanakan tugas pokok melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang, sebatas pengetahuan dan kemampuan untuk kepentingan penegakan hukum, artinya jelas bersifat sementara dan tidak over-spanning (berlebihan).
Advokat seolah dikonfrontasikan dengan struktur jabatan resmi sebagai sindiran halus yang mengada-ada sehingga disebut sebagai kaum partikelir, ditempatkan sekedar pelengkap dari sistem secara subordinatif, tidak sebagai subsistem yang berkoordinasi.
Padahal, koordinasi sangat diperlukan sebab fungsi Advokatlah yang dapat menjembatani posisi exclave rekan penegak hukum agar tidak politis, tidak terkesan interuptif dan/atau intrusif di ranah Yudikatif, merelatifisir konotasi persaingan kepercayaan publik.
Dominus Litis Advokat
Advokat memang partikelir dalam makna yang sebenarnya – bukan untuk umum, bukan kepunyaan pemerintah, bukan (milik) dinas, bukan antek swasta – Advokat merupakan hal yang khusus, bahkan sebetulnya eksklusif sebagai officium nobile sehingga harus diikat dengan sumpah agar kembali pada profesus.
Tiap fungsionaris kekuasaan kehakiman sudah seharusnya berkoordinasi, kita tidak begitu saja mengadopsi pola negara lain, karena UU Kehakiman menempatkan kedudukan tersebut.
Berdasarkan prinsip diferensiasi fungsional, serapan sistem Perancis dan pola saat pendudukan Jepang maka jelas Kejaksaan berada pada domain atau dominus litis tertentu dalam batasan kepentingan eksekutif yang oleh karenanya jangan dirancukan dengan domain Advokat.
Disebutkan dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 38 Ayat (2) huruf d mengenai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yaitu “pemberian jasa hukum”.
Artinya, secara sistematis peraturan-undangan mengatakan bahwa jasa hukum yang dilakukan oleh selain pejabat atau petugas pengadilan yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman terhadap masyarakat umum tidak mempunyai dasar hukum kecuali yang diberikan oleh Advokat.
Profesor senior di Van Vollenhoven Institute, Jan Michiel Otto mengafirmasi kepentingan para pengacara pembela tersangka atau terdakwa terkait permasalahan ini, “Perlu juga untuk melihat sudut pandang dari advokat pembela tersangka atau pembela dalam kasus pidana. Jadi, semakin penting untuk melihat bagaimana perspektif para pengacara yang biasa menangani perkara pidana”.
Penghormatan bagi Advokat sudah sejak zaman klasik Romawi, profesi hukum sudah berperan penting seperti (Marcus Tullius) Cicero yang disebut “Juristconsult” dan produknya disebut “Responsa” (pendapat hukum Juristconsults). Responsa ini sama dengan respon hukum itu sendiri. Lebih jauh lagi bisa “…mewujudkan ide-ide mereka sendiri”. [Hans Julius Wolff, 1978, hlm. 97]
Alasannya mereka duduk di “consilium” juga pada saat yang sama sebagai “praetor” yang akan menjalankan hukum dan hakim. Jadi Advokat sejak awal selain seorang ahli yang menawarkan “jasa hukum” juga melakukan peranan yang lebih luas, membangun, membentuk hukum dan penasihat pemerintah.
Deborah M. Hussey Freeland mencermati advokat dalam Sistem Peradilan Pidana, “Saya mempertimbangkan bagaimana seseorang menjadi seorang pengacara dan bagaimana pengacara berhubungan dengan pengadilan. Untuk melengkapi analisis hukum dan struktural, saya menarik dari teori-teori pembentukan identitas, dialektika Hegel, dan dari upaya yang sangat langka untuk mengeksplorasi apa pengacara tersebut. Saya menemukan bahwa pengacara menunjukkan, melakukan dan tetap sebagai petugas pengadilan… dan penting juga untuk upaya sistem peradilan kita dalam mempengaruhi supremasi hukum.” [1998, hlm. 427]
Advokat mempunyai porsi dalam menegakkan hukum dan keadilan dalam kekuasaan kehakiman, memiliki peran penting dalam melakukan pengawasan dan pengawalan kewenangan peradilan, kata Bagir Manan.
Bahkan dalam hal-hal tertentu antara Jaksa dengan Advokat sama-sama berperan sebagai penuntut, dimana Jaksa dapat menuntut seseorang atau sekelompok orang yang merugikan Negara/pemerintah, namun disisi lain Advokat atas nama klien dapat menuntut Negara/pemerintah ketika merugikan hak-hak klien selaku warga negara.
Polemik Kewenangan
Permasalahan Advokat yang seringkali dibawa ke ranah umum dan konstitusi seperti pseudo conflict (konflik undang-undang semu) yang bermula dari suatu pembentukan kewenangan sebab tafsir parsial yang sama sekali tidak komprehensif, seadanya.
Dan menurut Solehudin keberadaan advokat dari prespektif filsafati dalam ketatanegaraan pada hakikatnya untuk menyeimbangkan kewenangan yang dimiliki oleh penegak hukum yang lain.
Pasal 28 ayat (1) frasa “organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat” sama sekali tidak menyatakan organisasi tunggal sebagai pokok rumusan. Peran dan fungsi Advokasi melekat pada individu secara ilmu dan etik, organisasi dalam aktivitas profesi yang ada di ranah administrasi.
Secara hermeneutis pasal itu ingin mengatakan bahwa "yang memproduksi advokat hanyalah organisasi advokat, bukan politik, bukan pemerintah, kehakiman, perusahaan otomotif, kedokteran, perguruan tinggi dlsb, sumber advokat adalah organisasi advokat dengan kebebasan dan kemandiriannya, dan bukan organisasi/lembaga/institusi lain" inilah maksud dari frasa “satu-satunya wadah profesi “, pasal ini sama sekali tidak berbicara soal single atau multi bar.
Peran mahkamah konstitusi menjadi penting dalam pengambilan kebijakan. George Tsebelis menyebut konsep ini dengan istilah veto-player yaitu seseorang atau lembaga yang keputusannya sangat menentukan dalam pengambilan kebijakan. [1995, hal. 289]
Putusan perkara No. 014/PUU-IV/2006 memuat frasa organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga menjalankan fungsi negara. Fungsi negara yang dimaksud MK, dengan mengacu pada putusan perkara Nomor 006/PUU-II/2004, adalah kewajiban para advokat pada umumnya untuk memberikan akses pada keadilan bagi semua orang.
Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu berdasarkan jabatannya. Hak mengacu pada apa yang diperolehnya, kewajiban sementara mengacu pada apa yang harus dilakukan.
Politik penegakan hukum wilayah Yudikatif hendaknya sepakat bahwa memang diperlukan adanya suatu konflik kewenangan, yang akan mendudukan para fungsionaris dalam suatu musyawarah untuk menentukan penyelesaian suatu perkara berdasarkan amanat kekuasaan kehakiman.
Setiap hasilnya dilaporkan kepada kehakiman – in casu Mahkamah Agung – baik berupa pelimpahan perkara untuk diputuskan maupun alternatif penyelesaian lain untuk disetujui.
Advokat adalah fungsionaris kekuasaan kehakiman, sebagai rechtsbeoefening (pengembanan hukum) dalam kekuasaan procuro (wakil swasta), probono (demi kepentingan publik) dan prodeo (untuk Tuhan), inilah the origin of profesus, yaitu pengakuan atau komitmen iman, atau pernyataan kesungguhan hati atau janji dimuka umum atas keahlian di bidangnya.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL.
sumber: webKAI
Kewenangan Advokat, Fungsionaris Kekuasaan Kehakiman
Langganan:
Postingan
(
Atom
)