Membuka...

Api Romantisme Politik Hukum MK 90/PUU-XXI/2023

Menegangkan sekali rasanya negara ini, hampir tidak ada cara membahas polemik hukum yang notabenenya akan menjadi acuan politik hukum, tafsiran dan implementasi kehidupan sehari-hari yang menyejukkan.

Cenderung terjadi false dilemma dan causes, dimana sepertinya ada dua pilihan yang mematikan argumen secara tidak fair, atau sebaliknya saling berkaitan atau mempunyai sebab akibat, padahal dalam alam pikir relatif boleh ada kesesatan seperti ad ignorantum yang menganggap suatu hal sama dengan yang lainnya sehingga berpotensi menimbulkan konflik.

Mengutip pendapat Edmund Burke bahwa Pengadilan menempatkan diri sebagai political holder, pendapat ini diafirmasi oleh Hirschl bahwa kewenangan untuk mengadili kontroversi-kontroversi politik tersebut telah mengubah pengadilan menjadi sebuah institusi politik, apalagi Hukum Tata Negara adalah bentuk lain dari politik Menurut Feeley dan Rubin yang mana judisialisasi pada dasarnya adalah lembaga peradilan yang memainkan peran untuk membuat kebijakan, dan tegas Owen Fiss bahwa lembaga peradilan memiliki peran dan fungsi yang sama dengan cabang kekuasaan lainnya dalam menentukan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

LINGKARAN KONSEKUENSI

Jika menjadi open legal policy dan hanya jika diserahkan kepada pembentuk UU maka kita punya preseden buruk terhadap perkembangan perilaku para pejabat yang (mungkin) secara major lebih menempatkan diri sebagai petugas partai yang tidak mutlak taat peraturan perundang-undangan melainkan taat pimpinannya.

Dramatik sekali, nuansa schijnhandeling, sebuah permainan dengan tujuan lain yang tertentu, politik hukum yang seringkali jadi senjata politik praktis, bisa apa masyarakat yang notabenenya adalah anggota (grass root) partai meski sebagian kecil tapi kita tahu sangat militan?

Sederhananya, bahwa Hakim MK diangkat oleh Presiden yang disebut petugas partai, Wakil Rakyat ditunjuk oleh partai, Hakim MK sebagai wakil dari DPR, betapa alur sirkuler ini sangat blunder. Perlu diingat bahwa DPR dan Presiden adalah sama-sama pembentuk UU.

Disinilah kepentingan Aksi Judisial, menahan diri atau memutuskan dengan baik beserta segala konsekuensinya.

Tanggapan logis juga berasal dari failosof Soren Kierkegaard bahwa dalam causalitas adequate mestinya lex neminem cigit ad impossibilia (hukum tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin), jangan ada konstelasi drama yang membuat semua ruang menjadi rumah politik.

Bagaimanapun adanya concurring dan dessenting namun terdapat 2 Hakim memutus, 2 memutus namun dengan alasan berbeda dan 4 orang Hakim menyatakan pendapat berbeda. Artinya 4:4 dalam posisi yang sama, oleh karena itu dibutuhkan 1 pengambil keputusan atau sebagai penentuan, ini linear dengan Pasal 45 ayat (8) UU MK berkaitan dengan suara terakhir.

Rasanya, terlalu mudah jika mengarahkan putusan MK ini kontroversial lalu simpulnya dikaitkan dengan kedinastian atau rezim 3 periode dan seterusnya, politik tidak sebercanda itu. Masih ada lain yang lebih beruntung dan sedikit diluar dugaan.
Berkaitan dengan politik hukum kepemerintahan (eksekutif), ini bukan lagi otokratik legism tapi jelas juristokrasi totalitarian. Sehingga, oknum penegak hukum dalam banyak celah kesempatan membusungkan dada sebagai alat perekayasa hukum atas suatu aktivitas sosial-etik yang wajar.

Ketimbang Montesquieu, rasanya Trias Politica yang diterapkan Indonesia lebih kepada John Locke, tendensi Perancis kuno dengan paradigma Judisialisasi Politik yang kental Judicial Activism, yudikatif sebagai anak tiri eksekutif, sebagai gantinya adalah federatif, urusan luar negeri.

RUMUSAN POLEMIK

“Tindakan kuasa hukum pemohon mencerminkan ketidakprofesionalan sebagai kuasa hukum karena tanpa melakukan koordinasi dengan pemohon kuasa hukum pemohon melakukan penarikan permohonannya,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Menurut Wahiduddin Adams, Mahkamah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai ”legislating or governing from the bench” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient reason). Hal lainnya, Saldi Isra mempertanyakan fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari menolak menjadi mengabulkan. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?

Sekedar mencoba menjawab dissenting opinion tersebut maka menurut penulis diantara sekian permohonan uji materi batas usia tersebut harus tetap diambil reasoning yang tepat untuk dikabulkan dari permohonan yang punya logika hukum baik, meski tidak dari pakar atau kompetensi, sebab akan lebih mengkhawatirkan jika dengan penolakan maka tak ada pembatasan konstitusional lalu dibiarkan bergulir dalam mekanisme politik praktis.

Betapa bahayanya judisialisasi politik, mindset vigilante maupun witch-hunt di masyarakat terasa makin kental, mengakar di kehidupan sehari-hari sampai pada perang netizen, hanya menunggu manajemen politik praktis saja untuk menjadi alat.

Berapa banyak produk peraturan perundang-undangan yang tak harmonis? Berapa banyak putusan Mahkamah yang tidak ditaati dengan pembangkangan? Berapa sering pribadi Presiden disindir oleh pemimpin lainnya? Maka pengawal konstitusi mesti bersikap dalam menanggapi jiwa masyarakat yang akan disentuh oleh produk politik dan bisa jadi opresi.

Jika ada yang masih berpikir bahwa frase tambahan dari MK terhadap suatu peraturan perundang-undangan agar tetap konstitusional dengan tetap harus dilakukan perubahan melalui lembaga legislatif dan selama belum dirubah melalui lembaga yg berwenang (legislatif) maka putusan belum dapat dijalankan maka ini adalah pandangan yang cenderung keliru, sebab bukankah legislatif sudah menempatkan pilihannya di MK sebagaimana dilakukan dengan alasan keterwakilannya?

Padahal, jika benar-benar ingin bersepakat dan menganggap bahwa putusan tersebut tidak tepat maka jangan gunakan celah putusannya untuk dipolitisir, sesimpel itu.

KEPENTINGAN PENGUATAN YUDIKATIF

Sementara pihak Yudikatif harus menata diri dengan mulai bertaransformasi sebagai institusi politik untuk menghadapi gempuran judisialisasi politik yang berupaya mencari pembenaran dan penguatan melalui putusan-putusan pengadilan agar perilaku absolutismenya mendapatkan legalitas, sungguh sesuatu yang kritis jika absolutisme menemukan hegemoninya, berubah menjadi totalitarian.

Disini, dituntut juga peran Komisi Yudisial menyangkut lembaga-lembaga yang erat terkait dengan ketatanegaraan sebagai bentuk lain dari politik, khususnya dalam wilayah hukum, forum ini seperti mendudukkan peran dan fungsi antar negarawan, Hakim, Advokat dan Komisi Yudisial. Sebuah forum yang langka atas ranah Yudikatif.

Penulis merujuk dan sepakat dengan pendapat Profesor senior di Van Vollenhoven Institute, Jan Michiel Otto yang mengingatkan bahwa sudut pandang dari Advokat akan menjadi semakin penting.

Jauh sebelumnya Cicero mengatakan Advokat adalah juristconsults juga duduk di “consilium” sekaligus sebagai “praetor” dan "magistrates" pelaksana hukum, lebih jauh membangun hukum dan penasihat pemerintah.

Tidak kurang dari Bagir Manan, Mr. SM Amin dan Abdurrahman mengatakan bahwa Advokat mengawasi dan mengawal integritas peradilan, membantu hakim mencari kebenaran. Hal lainnya Arif Sidharta bahwa Advokat adalah pengemban hukum (rechtsbeoefening), sebuah perspektif yang terabaikan.

Sepertinya juga dapat menjadi distraksi, tentang mereka yang berada di posisi Pemerintahan dengan segala kewenangan tafsiran hukum institusional yang berguna untuk tujuan kepemerintahan akan diminta dan cenderung dipenuhi sebab kepentingan Pemerintah, lalu melakukan propaganda dengan slogan-slogan ahistoris memanfaatkan kegaduhan seperti ini.

Dalam literasi yang relevan penulis mengutip Satjipto Rahardjo yang pernah menerangkan bahwa terdapat putusan-putusan yang berbobot politik, yaitu politik kenegarawanan. Yang perlu digarisbawahi dari harapan ini adalah politik kenegarawanan (judicial statementship).

Bahkan secara disiplin doktrinal diafirmasi oleh Hans Kelsen yang mengatakan bahwa organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function).

ISLAH YUDIKATIF

Penulis melihat, ada kedekatan cerita seperti sejarah yang berulang dan dirangkum dalam satu waktu. Penulis mengenali Anwar Usman sebagai pengagum Abu Bakar ash-Shiddiq, dengan romansa seperti Hatta dan Rachmi yang ditengahi Soekarno.

Tapi sejarah tidak pernah berulang tanpa sebab, penulis lebih memilih untuk mempercayai bahwa sejarah berulang dan terangkum kembali sebab harus diselesaikan dengan cara yang lebih baik dari sebelumnya.

Penulis memandang bahwa beliau seperti melakukan tradisi Sati, masuk kedalam api suci untuk membuktikan sebagai pasangan yang setia bagi hukum, mengorbankan diri agar banyak masalah yang dapat terselesaikan.
Beliau mestilah mengenal kisah Khaitsamah, apalagi tentang jihad Abu Bakar.

Dimana dalam satu kesempatan beliau mengatakan, “Abu Bakar Shiddiq ketika ditunjuk sebagai pemimpin beliau mengatakan aku telah terpilih di antara kalian dan aku bukan orang terbaik di antara kalian. Andai kata benar ikuti aku, andai kata aku salah ingatkanlah aku.” Tidak ada keraguan bagi penulis bahwa Anwar Usman berlaku setia terhadap hukum.

Disini, para pelaksana Yudikatif dituntut untuk dapat saling mengingatkan sebagai kutipan Abu Bakar diatas, tapi dimana para negarawan ini dapat saling mengingatkan? Yaitu dalam forum khusus yang diselenggarakan untuk itu melalui Komisi Yudisial.

Kenapa menyinggung profesi Advokat? Sebab berkaitan pula dengan permasalahan etik yang ada di ranah Advokat berhadapan dengan MK, dan para pelaksana Yudikatif ini dapat bertemu melalui Peraturan KY Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi jo. Keputusan Bersama Ketua MARI Dan Ketua KYRI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim jo. Pasal 295 dan Pasal 296 KUH Perdata.

Melakukan islah untuk saling memperbaiki, mendamaikan, dan menghilangkan sengketa atau kerusakan, apalagi keduanya dibenturkan dengan mindset umum yang sama yaitu etik, untuk meruntuhkan arogansi slogan dan propaganda yang secara doktrinal sedang bergulir dari embrio totalitarian, sadar atau tidak.

Jika, dan hanya jika benar jadi kenyataan... maka kedepan kehormatan intuisi Yudikatif bakal dikangkangi oleh nalar hukum dari kepentingan Eksekutif, embrio totalitarian akan dijelang dengan kelahiran ide federatif ini.

Apakah kemudian penulis malah melempar kepada KY? Tidak, itu justifikasi sesat, ini forum para negarawan juga, di ranah Yudikatif yang harus terlepas dari segala intervensi, intrusi dan penetrasi pihak manapun apalagi politik praktis.
Politik hukum yang dilakukan secara terbuka sebagai cara yang anggun dan jujur. Meski terkesan melankoli atau malah sentimentil alias cengeng, tapi hanya berupa harapan, seandainya.

Tapi bagaimanapun juga harus diakui bahwa kepemimpinan Mahkamah Konstitusi yang menurut penulis terbaik adalah pada masa kepemimpinan Mahfud MD, dan semoga Mahkamah Konstitusi tetap idependen, diluar kendali politik apalagi Eksekutif.

Beranda